Rabu, 02 Mei 2012

ULUMUL QUR'AN


11. ULUMUL QUR’AN
A.    Pengertian
Kata ulum jamak dari kata ilmu. Ilmu berarti al-fahmu wal idraak (faham dan menguasai). Kemudian arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan uluumul qur’an ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an dari segi asbaabu nuzuul (sebab-sebab turunnya al-qur’an) pengumpulan dan penertiban Qur’an, pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, nasikh wal mansukh, al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur`an.
Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushuulu tafsir (dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an.
B.     Sejarah
Sejarah perkembangan ulumul quran dimulai menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap fase menjadi dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga ulumul quran menjadi sebuah ilmu khusus yang dipelajari dan dibahas secara khusus pula. Berikut beberapa fase tahapan perkembangan ulumul quran.
1.      ULUMUL QURAN pada MASA RASULULLAH SAW
Embrio awal ulumul quran pada masa ini berupa penafsiran ayat al-Quran langsung dari Rasulullah SAW kepada para sahabat, begitu pula dengan antusiasime para sahabat dalam bertanya tentang makna suatu ayat, menghafalkan dan mempelajari hukum-hukumnya.
a. Rasulullah SAW menafsirkan kepada sahabat beberapa ayat.
Dari Uqbah bin Amir ia berkata : " aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata diatas mimbar, "dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal: 60), ingatlah bahwa kekuatan disini adalah memanah." (HR Muslim)
b. Antusiasme sahabat dalam menghafal dan mempelajari al-Quran.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrrahman as-sulami, ia mengatakan : " mereka yang membacakan qur'an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada didalamnya, mereka berkata 'kami mempelajari qur'an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.”
c. Larangan Rasulullah SAW untuk menulis selain qur'an, sebagai upaya menjaga kemurnian al-Quran.
Dari Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan aku selain qur'an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka."(HR Muslim)
2.      ULUMUL QURAN MASA KHALIFAH
Pada masa khalifah, tahapan perkembangan awal (embrio) ulumul quran mulai berkembang pesat, diantaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimana berikut :
a. Khalifah Abu Bakar :dengan Kebijakan Pengumpulan (Penulisan al-Quran yang pertama yang diprakarsai oleh Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid bin Tsabit).
b. Kekhalifahan Usman Ra : dengan kebijakan menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rosmul 'Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu Rasmil Qur'an.
c. Kekhalifahan Ali Ra dengan kebijakan perintahnya kepada Abu 'aswad Ad-Du'ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan ketentuan harakat pada qur'an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu I'rabil Qur'an.
3. ULUMUL QURAN MASA SAHABAT & TABI'IN
a. Peranan Sahabat dalam Penafsiran Al-Quran & Tokoh-tokohnya.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-qur'an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW , hal demikian diteruskan oleh murid-murid mereka yaitu para tabi'in.
Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah:
1.      Empat orang Khalifah ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali )
2.      Ibnu Masud,
3.      Ibnu Abbas,
4.      Ubai bin Kaab,
5.      Zaid bin sabit,
6.      Abu Musa al-Asy'ari
7.      Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan sudah tafsir al-Quran yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsirancapa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global.
b. Peranan Tabi'in dalam penafsiran Al-Quran & Tokoh-tokohnya
Mengenai para tabi'in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad  dalam menafsirkan ayat. Yang terkenal di antara mereka , masing-masing sebagai berikut :
1.      Murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah, Sa'id bin  ubair, Mujahid, 'iKrimah bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin kisan al Yamani dan 'Ata' bin abu Rabah.
2.      Murid Ubai bin Kaab, di Madinah : Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka'b al Qurazi.
3.      Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal : 'Alqamah bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid, 'Amir as Sya'bi, Hasan Al Basyri dan Qatadah bin Di'amah as Sadusi.
Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu Gharibil Qur'an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Makki Wal madani dan ilmu Nasikh dan Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
4.    ULUMUL QUR'AN MASA MODERN / KONTEMPORER
Sebagaimana pada periode sebelumnya, perkembangan ulumul quran pada masa kontemporer ini juga berlanjut seputar penulisan sebuah metode atau cabang ilmu al-Quran secara khusus dan terpisah, sebagaimana ada pula yang kembali membali menyusun atau menyatukan cabang-cabang ulumul quran dalam kitab tersendiri dengan penulisan yang lebih sederhana dan sistematis dari kitab-kitab klasik terdahulu.
3.    SEJARAH PENURUNAN DAN PEMELIHARAAN
A.    Konsep Wahyu
Wahyu berarti suara, apai, kecepatan. Wahyu juga berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (42: 51)
Cara-cara penurunan wahyu aada tiga cara, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; melalui belakang tabir sebagaimana yang terjadi kepada Nabi Musa; dan melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
B.     Proses turunnya
Allah memberikan wahyu kepada para rasul-Nya ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak.
1.      CARA PERTAMA : TANPA MELALUI PERANTARAAN.
Diantaranya ialah dengan :
a.       Mimpi yang benar didalam tidur.
Dari Aisyah r.a dia berkata : sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur, beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya di waktu pagi hari. Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para Nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail
Mimpi yang benar itu tidaklah khusus bagi para rasul saja, mimpi yang demikian itu tetap ada pada kaum mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu Hal itu seperti dikatakan oleh Rasulullah SAW : Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitun mimpi orang mukmin.
b.      Kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara.


2.      CARA KEDUA MELALUI PERANTARAAN MALAIKAT
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul :
a.        Cara pertama : Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang sangat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu.
b.      Cara kedua : Malaikat menjelma kepada rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini lebih ringan dari pada yang sebelumnya. Karena ada kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengar dari utusan pembawa wahyu itu. Karena merasa seperti manusia yang berhadapan saudaranya sendiri.
C.    Pengumpulan al-Qur’an
1.      Pengumpulan Al – Qur’an Pada Masa Nabi saw
Pengumpulan ayat – ayat al – Qur’an ada dua periode:
1.      Periode Nabi saw, terdiri atas dua kategori:
Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati, dan mengamalkan.
Pengumpulan dalam dokumen, dengan cara menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
2.      Periode Khulafaur Rasyidin.
2.      Pengumpulan Al – Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Setelah wafatnya Rasululloh saw, kekhilafahan dipegang oleh Abu Bakar Siddiq r.a. Dalam masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi problem yang rumit, salah satunya memerangi orang yang murtad dan memerangi pengikut Musailamah Al – Kadzdzab.
Ketika peperangan Yamamah, banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih dari 70 haffis ternama.
Untuk menjaga agar al – Qur’an tidak lenyap karena banyak huffas yang gugur. Abu Bakar mengutus Zaid Bin Tsabit dan menyuruhnya segera mengumpulkan Al – Qur’an dalam satu mushaf.
3.      Beberapa kejadian sekitar pengumpulan al-Qur’an
1.      Keraguan Abu Bakar dalam pengumpulan mushaf dikarenakan apabila sudah dikumpulakn nantinya minat menghafal dan menghayati mereka terhadap kitab suci menjadi lemah.
2.      Abu Bakar memilih Zaid Bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an dikarenakan Zaid memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menghafal al-Qur’an dan ia adalah sekretaris Rasululloh saw.
4.      Langkah yang tepat dalam pengumpulan al-Qur’an
Penyelidikan berdasarkan pada dua sumber:
1.      Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat.
2.      Sumber tulisan yang ditulis jaman Rasululloh saw.
5.      Beberapa keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq
1.      Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2.      Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaanya.
3.      Ijma umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-Qur’an.
4.      Mushaf mencakup qiraat sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
6.      Mengapa al-Qur’an tidak dibukukan dalam satu mushaf (pada masa Nabi)?
1.      Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur.
2.      Sebagaian ayat ada ayng dimansukh.
3.      Susuna surat dan ayat tidaklah berdasarkan urutan turunnya.
4.      Masa turunnya wahyu terakhir dengan meninggalnya Rasululloh saw. sangatlah dekat.
5.      Belum ada motivasi untuk mengumpulkan menjadi satu mushaf.
7.      Pengumpulan al-Qur’an dimasa Utsman
Daerah kekuasaan Islam pada masa Ustman sudah meluas dan orang-orang Islam terpencar di berbagai daerah dan kota-kota. Akhirnya mereka mengikuti bacaan dari orang yang ahli di daerahnya, tetapi para ahli tersebut masih berbeda dalam bunyi huruf dan bentuk bacaan, akhirnya, Ustman menugaskan kepada empat sahabat Zaid bin tsabit, abdulloh bin Zubai, Said ibn Al-Ash, dan Abdurrahamn Ibnu Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf Abu Bakar yang pada saat itu dibawa Hafsah binti Umar.
8.      Motif Ustman mengumpulkan al-Qur’an
Perbedaan bacaan al-Qur’an.
9.      Perbedaan mushaf Abu Bakar dan Ustman
Pengumpulan: Abu Bakar, bentuk pemindahan dan penulisannya al-Qur’an kedalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sedah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma, dan kulit-kulit binatang.
Ustman: menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh negara Islam.
Latar belakang: Abu Bakar: banyaknya huffaz yang gugur.
Ustman: perbedaan dalam hal membaca al-Qur’an.
3.      PENULISAN (RASM) AL-QUR’AN
Pada awalnya, penulisan al-Qur’an terdapat pada batu dan benda-benda lain sebelum dibukukan. Hingga perkembangan membawa al-Qur’an pada proses pengumpulan dan pembukuan masa khalifah Abu Bakar As Shiddiq.
4.      MAKKIYAH DAN MADANIYAH
                               I.            Batasan tentang makkiyah dan madaniyah
a.       Berdasarkan tempat turunnya:
Makkiyah adalah suatu surah yang di nuzulkan di makkah. Madaniyah adaah suatu surah yang dinuzulkan di madinah.
b.      Berdasarkan seruan dalam ayat tersebut:
Makkiyah adalah ayat yang seruannya ditujukan kepada penduduk makkah. Madaniyah adalah ayat yang seruannya ditujukan kepada penduduk madinah.
c.       Berdasarkan masa turunnya:
Makkiyah adalah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Madaniyah adalah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah.
                            II.            Kelompok surat makkiyah dan madaniyah
Surat-surat al-Qur’an terbagi empat macam:
a.       Surat-surat makkiyah murni.
b.      Surat-surat madaniyah murni.
c.       Surat-surat makkiyah yang berisi ayat-ayat madaniyah.
d.      Surat-surat madaniyah yang berisi ayat-ayat makkiyah.
                         III.            Ciri-ciri khusus surat makkiyah
a.       Surat yang terdapat ayat sajdah.
b.      Mengandung lafaz kalla.
c.       Terdapat kisah Nabi dan umat-umat terdahulu kecuali al-Baqarah dan ali Imran.
d.      Terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali al-Baqarah.
e.       Diawali dengan huruf tahijjiy.
f.       Mengandung seruan untuk beriman kepada Alloh dan hari kiamat dan apa-apa yang akan terjadi di akhirat.
g.      Membantah argumen kaum musyrikin dan menjelaskan kekeliruan mereka terhadap berhala-berhala.
h.      Mengandung seruan berakhlaq mulia.
i.        Terdapat kalimat sumpah dan ayatnya pendek-pendek.
                         IV.            Ciri-ciri khusus surat madaniyah
a.       Ayat berisi hukum pidana, warisan.
b.      Mengandung ijin jihad, urusan-urusan perang.
c.       Menjelaskan hukum-hukum amaliyah, masalah ibadah, masalah muamalah.
d.      Sebagian suratnya panjang-panjang.
                            V.            Kedudukan dan kegunaan ilmu makki wal madani
a.       Dijadikan alat bantu dalam menafsirka al-Qur’an.
b.      Meresapi gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Alloh.
c.       Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur’an.
5.    Asbabun Nuzul
a.      Pengertian
Asbabun nuzul artinya sebab – sebab turunnya ayat Al- Qur’an. Ilmu ini sangat bermanfaat dalam memahami ayat. Ilmu asbabul nuzul sangat diperlukan dalam mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayat  Al – Qur’an. Dengan demikian, maka tidak mungkin terdapat diantaranya ayat Al – Qur’an yang tidak diketahui hukumnya tanpa ilmu asbabun nuzul (Qs. Al – Baqarah: 115).
Macam-macamnya:
1.      Kedua-duanya harus mengungkapkan ucapannya, seperti “Ayat ini turun dalam begini...”kemudian menyebutkan masalah yang lain. Masalah tersebut bisa dijadikan suatu istimbat yang dapat membentuk suatu hukum.
2.      Yangd satunya lagi ahrus mengungkapkan kata-katanya, seperti “Ayat ini turun dalam begini...” kemudiaan menyebutkan sebab – sebab turunnya.
3.      Masing – masing harus menyebutkan sebab – sebab turunnya secara gamblang dan yang dijadikan pedoman adalah yang shahih.
4.      Isnad keduanya harus sama – sama shahih, sehingga kita dapat mentarjih salah satu diantara keduanya dengan yang lain dalam suatu segi.
5.      Masing – masing kedua riwayat itu isnadnya harus shahih dan jarak waktu antara keduanya harus dekat.
6.      Tidak ada alternatif untuk memadukan antara riwayat – riwayat yang shahih, maka yang diambil adalah jumlah nuzuul dan ulangan– ulangannya, sebab jangka waktu antara keduanya jauh sekali.
b.      Cara mengetahui
Asbabun nuzul tidak bisa semata – mata diketahui dengan akal, melainkan berdasarkan riwayat yang shahih dan dedengar langsung oleh orang – orang yang tahu turunnya Al – Qur’an atau dari orang – orang yang mengetahui asbabun nuzul lalu mereka menelitinya dengan cermat baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama – ulama yang dapat dipercaya.
Cara mengetahui asbabun nuzul:
1.      Apabila perawi sendiri menyatakan lafal sebab secara tegas.
2.      Apabila perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukkan huruf “fa ta’qibiyah” pada kata “nazala” seperti kata – kata perawi.
c.       Urgensi asbabun nuzul
1.      Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat.
2.      Menentukan hukum dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa                        suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
3.      Menghindarkan prasangka bahwa arti hasr dalam suatu ayat yang zahirnya hasr.
4.      Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu – raguan.
6.    NASAKH DAN MANSUKH
a.      Pengertian nasakh
Secara etimologi: Kata nasakh juga berarti mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain. Seperti yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 101 yang artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b.      Cara mengetahui nasakh dan mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.      Keterangan tegas dan nabi atau sahabat,
2.      Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat mi nasakh dan ayat itu mansukh.
3.      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian tununnya dalam perspektif sejarah.
c.       Beberapa pandangan tentang nasakh
Ada tidaknya nasakh mansukh dalam Al-quran sejak dahulu diperdebatkan para ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut adalah berawal dan pemahaman mereka tentang ayat:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
Artinya: Seandainya Aiquran mi datangnya bukan dan Allah, niscaya mereka akan menemukan kontradiksi yang sangat banyak. (QS. An-Nisaa’ 82).
Kesimpulan dan ayat di atas mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat Al-quran yang secara zahir menunjukkan kontradiksi.
 Ada dua pendapat ulama  tentang Nasakh dan mansukh yaitu :
1.      Nasakh secara Logika
2.      Nasakh Secara Logika dan Syara’
d.      Pembagian nasakh
Nasakh ada empat bagian:
1.      Nasakh Al-quran dengan Al-quran.
2.      Nasakh Al-quran dengan sunnah. Ini  terbagi dua:
a)      Nasakh Aiquran dengan hadis Ahad.
b)      Nasakh Aiquran dengan hadis Mutawatir.
3.      Nasakh Sunnah dengan Al-quran.
4.      Nasakh Sunnah dengan Sunnah.
e.       Macam-macam nasakh dalam Al-Qur’an
1. Nasakh tilawah dan hukum.
2. Nasakh hukum, tilawahnya tetap.
3. Nasakh tilawah hukumnya tetap.
f.  Contoh-contoh Nasakh
g. Pendekatan dalam nasakh dan mansukh
7.    Qira’at Al-Qur’an
a.      Pengertian dan hakikat
Pengertian qira’at: satu aliran dalam membaca al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qura’ yang berbeda dengan hal lainnya dalam hal ucapan al-Qur’anul Karim.
b.   Sebab-sebab perbedaan qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1.      Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi: مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi: مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَان
2.      Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3.      Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4.      Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5.      Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6.      Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
c.    Nisbat Qira’at kepada ahli Qira’at
d.   Bentuk-bentuk dan faidah perbedaan qira’at
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
1.         Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas. Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا . Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
2.         Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
·         Qira’at Aisyah dan Hafsah
·         Qira’at Ibn Mas’ud
·         Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
·         Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
·         Qira’at Ibn Abbas
·         Qira’at Jabir
3.      Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
a.         Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
b.        Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
c.         Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
d.        Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
e.         Memperbesar pahala.
8.    IJAZ
a.         Pengertian
Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang bertentangan dengan adat dan keluar dari batas-batas yang telah diketahui. I’jazul Qur’an (Kemukjizatan al-Qur’an) artinya menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun berkelompok, untuk bisa mendatangkan yang sejenis dengan al-Qur’an. Tujuan mukjizat adalah untuk melahirkan kebenaran dan menetapkan bahwa yang mereka bawa itu adalah semata-mata wahyu dari Zat Yang Maha Bijaksana dan diturunkan dari Zat Yang Mahakuasa. Mukjizat adalah dalil-dalil Alloh kepada hambaNya untuk membenarkan Rasul-rasul dan Nabi-Nabi.
b.        Konsep mukjizat
1.      Mukjizat berupa sesuatu yang tidak disanggupi oleh selain Alloh.
2.      Berlawanan dengan hukum-hukum alam.
3.      Mukjizat berupa hal yang dijadikan saksi oleh seseorang yang mengaku membawa risalah Ilahi sebagai bukti atas kebenaran ari pengakuannya.
4.      Terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mnegajka bertanding menggunakan mukjizat tersebut.
5.      Tidak akan ada seorangpun yang dapat membuktikan dan menandingi dalam pertandingan tersebut.
“Mukjizat adalah sesuatu  di luar jangkauan kebiasaan keluar dari faktor batasan yang sudah dikenal. Mukjizat ini diciptakan oleh Alloh bagi seseorang yang diangkat menjadi Nabi dalam rangka menunaikan tugas kenabiannya sebagai tanda kebenarannya...” (Syekh Az-Zarqani)
Contoh mukjizat: musa dengan tongkatnya yang bisa menjadi ular.
c.         Fungsi mukjizat
Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an dapat dilihat dari dua tataran:
1.      Tataran Teologis
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin menambah keimanan seseorang muslim. Bahkan, tidak jarang pula orang masuk Islam tatkala sudah mengetahui I’jaz Al-Qur'an. Terutama ketika isyarat-isyarat ilmiah, yang merupakan salah satu aspek I’jaz Al-Qur'an, sudah dapat dibuktikan.
2.      Tataran Akademis 
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin memperkaya khazanah keilmuan keislaman, khususnya berkaitan dengan ulum Al-Qur'an (ilmu tafsir)

d.        Segi-segi ijaz al-Qur’an
Mukjizat al-Quran terdiri dari berbagai macam segi mukjizat, antara lain :
1.      Segi bahasa dan susunan redaksinya ( I'jaz Lughowi)
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bias dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.
2.      Segi isyarat ilmiah
Pemaknaan kemukjizatan al-quran dalam segi ilmiyyah diantaranya :
a.       Dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya.
b.       Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang dalam cenderung restriktif.
c.        Al-Quran dalam mengekukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
1.      Isyarat tentang Sejarah Tata Surya .
2.       Isyarat tentang Fungsi Angin dalam Penyerbukan Bunga
3.      Isyarat tentang Sidik Jari manusia
3.      Segi sejarah dan pemberitaan yang ghaib
Surat-surat dalam al-Qur’an banyak yang membertitakan tentang hal-hal yang ghaib.
a.       Sejarah/keghaiban masa lampau
b.      Keghaiban masa kini
c.       Keajaiban mas amendatang
4.      Segi petunjuk penetapan hukum.

e.         Sejarah mukjizat
Sifat kemukjizatan itu tidak bisa dibuktikan, kecuali bila memenuhi tiga faktor dibawah ini, yaitu:
a.      Adanya tantangan
Al-Qur’an (mukjizat Muhammad) yang menantang orang-orang Arab khususnya dan manusia pada umumnya, dibawa oleh seorang Nabi yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis. Beliau datang kepada orang-orang Arab itu dengan membawa kitab yang agung ini dengan maksud menandingi mereka.
Faktir pertama: Ajakan bertanding dalam al-Qur’an ada beberapa bentuk: al-Qur’an menantang mereka membuat kitab yang sama dengan al-Qur’an. Namun, mereka lemah dan berbalik mundur. Kemudia mereka disodori untuk membuat sepuluh surat yang serupa dengan al-Qur’an, merekapun bingung. Selanjutnya, mereka disuruh membuat satu surat saja yang serupa dengan al-Qur’an, tetapi mereka yang bisa.
Macam-macam ajakan bertanding: ajakan bertanding secara umum dan ajakn beranding secara khusus. Ajakn bertanding secara umum disediakan untuk para ulama, cendekiawan, filsuf, dan semua manusia tanpa kecuali. Ajakan bertanding secara khusus ditujukan khusus untuk orang-orang Arab. Ada dua macam: yang bersifat kulli (keseluruhan) yaitu ajakan bertanding dengan seluruh al-Qur’an mengenai hukum-hukumnya, keindahannya, balagahnya dan keseluruhannya; yang bersifat juz’i (bagian) yaitu ajakan bertanding dengan semisal satu surat al-Qur’an, walaupun dari surat yang terpendek.
Faktor kedua: dorongan menangkis tantangan. Nabi Muhammad datang membawa agama baru dan menghancurkan agama mereka. Al-Qur’an mengajak mereka mengikuti dan meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Alloh.
Faktor ketiga: hilangnya segala rintangan. Tidak ada yang melarang mereka untuk menandingi al-Qur’an karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka , lafaznya dari huruf-huruf Arab, dan redaksinya memakai uslub orang Arob.
9.    MUNASABAH AL-QUR’AN
a.      Pengertian
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwardengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain;keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat;ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat. Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Sehingga ‘ilm munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.

b.      Macam-macam
1.      Munasabah antara surah dengan surah.
Surah-surah Al Qur’an mempunyai munasabah kerana surah yang datang kemudian menjelaskan topik yang jelas disebutkan secara umum dalam surah sebelumnya. Sebagai contoh, surah al-Baqarah memberikan perincian dan menjelaskan bagi surah al-Fatihah. Surah Ali Imran  juga merupakan surah berikutnya memberi penjelasan lebih lanjut tentang kandungan surat al-Baqarah. Selain itu munasabah dapat membentuk tema pokok dari berbagai surah, contoh: ikrar ketuhanan, kaidah-kaidah agama dan dasar-dasar agama. Ini semua merupakan tema-tema pokok dari surah al-Fatihah, al Baqarah, dan Ali ‘Imran. Ketiga surah ini saling mendukung tema pokok tersebut.
2.      Munasabah antara nama surah dengan kandunganya.
Nama-nama surah yang ada di dalam Al-Qur’an memiliki kaitan dengan topik yang ada dalam isi surah. Surah al-Fatihah disebut juga Umm al-Kitab kerana ia memuat berbagai tujuan Al Qur’an.
3.      Munasabah antara ayat dengan ayat dalam surah yang sama
Munasabah dalam bentuk ini secara jelas dapat dilihat dalam surah-surah pendek, contohnya: surah al-Ikhlas, tiap-tiap ayat yang terdapat dalam surah itu menguatkan tema pokoknya yaitu tentang keesaan Tuhan.
4.      Munasabah antara ayat dengan ayat dan hubungan antara satu sama lain
Keadaan ini bisa didapati dalam berbagai keadaan, antara lain: munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat. Munasabah disini bertujuan penguatan, misalnya firman Allah;
Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, meraka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan. Dan Allah adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”
Sekiranya ayat ini terhenti pada “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan”, niscaya makna yang boleh difahami oleh orang-orang lemah sejalan dengan pendapat orang-orang kafir yang menyangka bahwa mereka mundur dari medan perang kerana angin yang kebetulan bertiup. Padahal, bertiupnya angin bukan suatu kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya dan musuh kaum Muslim. Karena itu, ayat-ayat ini ditutup dengan mengingatkan kekuatan dan kegagahan Allah SWT menolong kaum Muslim.
Situasi yang lain pula adalah seperti munasabah antara akhir satu surah dengan awal surah berikutnya. Munasabah ini dapat dilihat misalnya pada surat Al-Qashash. Permulaan surat menjelaskan perjuangan Nabi Musa, diakhir surat memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan akan mengembalikannya ke Mekkah. Di awal surat, larangan menolong orang yang berbuat dosa dan di akhir surat larangan menolong orang kafir. Munasabah disini terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi dan sama-sama mendapatkan jaminan dari Allah SWT.
5.      Munasabah antara kalimah dengan kalimah dalam satu surah
Munasabah antara kalimah dalam Al Qur’an ada kalanya memakai huruf athaf(kata hubungan) dan ada kalanya tidak. Munasabah yang memakai huruf athaf(kata hubung) biasanya mengambil teknik tadhâd (berlawanan).
c.       Fungsi dan urgensi
Pengetahuan tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufassir sangat penting. Antara lain:
1.      Membongkar makna yang tesirat dalam susunan dan urutan kalimah-kalimah, ayat-ayat, dan surah-surah Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an itu saling berhubungan dan tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan berkaitan satu sama lain. Ia dinamakan oleh Sayyid Qutb sebagai ‘al-wahdah al-madhu‘iyyah’ (kesatuan topik).
2.      Memudahkan pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka. Antara kedua ayat tersebut terdapat hubungan penjelasan yaitu jalan yang lurus yang dimaksudkan adalah jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT.
3.      Mengukuhkan keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah. Meskipun Al-Qur’an yang terdiri dari atas 6236 ayat diturunkan dan ditulis di tempat, keadaan dan peristiwa yang berbeda, selama dua puluh tahun lebih, namun dalam susunannya mengandung makna yang mendalam berupa hubungan yang kuat antara satu bagian dengan bagian yang lain.
4.      Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an adalah tidak teratur. Contohnya surah al-Fatihah yang ditempatkan pada awal mushaf sehingga surah inilah yang pertama dibaca, sedangkan wahyu yang pertama diturunkan ialah lima ayat pertama surah al-Alaq. Nabi SAW menetapkan al Fatihah di awal mushaf disusul dengan surah al-Baqarah dan seterusnya. Setelah diteliti, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surah al-Fatihah mengandung asas-asas syariat Islam dan pada surah ini ada doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surah al-Baqarah pula dimulai dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus. Oleh karena itu, surah al-Fatihah merupakan titik perbahasan yang akan diperinci pada surah-surah berikutnya seperti al-Baqarah. Dengan membuktikan munasabah tersebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an tidak asal-asalan atau tidak teratur, sebaliknya penyusunan itu mempunyai makna yang mendalam.

10.     TAFSIR, TAKWIL, DAN TERJEMAH
a.      Pengertian
Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan dan menerangkan, Tafsir diambil dari kata Al-Fasr’ yang berarti membuka dan menjelaskan sesuatu yang tertutup. Oleh karena itu dalam bahsa arab kata tafsir berarti membuka secara maknawi dengan menjelaskan arti yang tertangkap dari redaksional yang eksplisit (tersurat).
Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir.
Arti terjemah menurut bahasa adalah susunan dari suatu bahasa kebahasa atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa lain kesuatu bahasa lain.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh “Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga dia dapat
b.      Persamaan dan perbedaan
Adapun perbedaan tafsir, takwil dan terjemah itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Tafsir.
Menerangkan makna lafazh yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT.
2.      Takwil
Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
Mengoleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
3.      Terjemah
Mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang berasal dari bahasa arab kedalam bahasa non arab.
c.       Macam-macam tafsir dan coraknya
1.      Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur’an rasul, para sahabat melalui ijtihadnya.
Hukum Tafsir Bi Al-Ma’tsur:
Tafsir Bi Al-Ma’tsur wajib untuk mengikuti dan diambil karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah.
2.      Tafsir Bir-Ra’yi
Berdasarkan pengertian ra’yi berarti keyakinan dan ijtihad sebagaimana dapat didefinisikan tafsir Bir-ra’yi adalah penjelasan yang diambil berdasarkan ijtihad dan metodenya dari dalil hukum yang ditunjukkan.
Hukum Tafsir Bir-ra’yi:
Tafsir banyak dilakukan oleh ahli bid’ah yang menyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafazh-lafazh Al-Qur’an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahuluan dari kalangan sahabat. Tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, sering penafsiran Al-Qur’an dianggap dengan akal semata, maka hukumnya adalah haram sebagai mana firman Allah:
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Q.S. Al-Isro’ : 36)
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas bahwa tafsir, takwil dan terjemah banyak mengandung pengertian dari para ulama berdasarkan tujuan dari tafsir, takwil dan terjemah adalah sebagai penjelasan yang terkandung dalam Al-qur’an.
d.      Terjemah
1.      Arti terjemah: memindahkan al-Qur’an pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini kedalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Alloh swt. dengan perantara terjemah ini.
2.      Macam-macam terjemah al-Qur’an:
a.       Terjemah harfiyyah: menerjemahkan al-Qur’an dalam bahsa Inggris, Jerman, Perancis, dan lain-lain mengenai lafal, kosa kata, jumlah dan susunannya dengan terjemahan yang sesuai bahasa yang dikehendaki.
b.      Terjemah tafsiriyyah: menerjemahkan arti ayat-ayat al-Qur’an, namun si penerjemah sama sekalitidak terikat dengan lafalnya, karena ia lebih memperhatikan arti al-Qur’an dengan lafal-lafal yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat.
3.      Syarat-syarat terjemah
a.    Mengetahui bahasa asli dan bahasa terjemah.
b.    Mendalami dan menguasai uslub-uslub dan keistimewaan-keistiewaan bahasa yang hendak diterjemahkan.
c.    Bentuk terjemah itu benar.
d.   Terjemah memenuhi arti dan maksud bahasa asli dengan lengkap dan sempurna.
Untuk terjemah harfiyyah ada tambahan,
a.       Kosa kata sempurna dalam bahasa terjemah sama dengan kosa kata bahasa asli.
b.      Penyesuaian bahasa mengenai kata ganti dan kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya.
4.      Bolehkah menerjemahkan al-Qur’an secara harfiyyah?
Tidak boleh karena:
a.       Tidak boleh menulis al-Qur’an bukan dengan hururf-huruf bahasa Arab, dimaksud agar tidak terjadi penyalahgunaan dan perubahan arti.
b.      Di dalam bahasa bukan bahasa Arab, tidak terdapat lafal-lafal, kosa kata dan kata ganti yang bisa menduduki lafal-lafal bahasa Arab.
c.       Meringkas lafal-lafal bahasa Arab dapat menimbulkan kerusakan arti.
5.      Terjemah al-Qur’an dengan makna
Terjemah al-Qur’an dengan nama dinamakan tafsir al-Qur’an.
11.     METODOLOGI PENAFSIRAN
a.      Beberapa aliran tafsir
1.      Tafsir Riwayat, tafsir naql, tafsir maksur (atsar) yaitu rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, Sunah atau kata-kata sahabat sebagia penjelasan maksud dari firman Alloh, yaiu penafsiran al-Qur’an dengan as-Sunah Nabawiyyah.
a.       Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.
b.      Tafsir al-Qur’an dengan Sunah.
c.       Tafsir sahabat.
Kelemahan:
a.       Campur bawur antara shahih dan tidak shahih.
b.      Ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyat dan khufarat yang bertentangan dengan akidah Islamiyah.
c.       Ada golongan yang ekstrim.
d.      Musuh-musuh Islam dari Zindik berusaha mengecoh para sahabat.
Pendapat Az-Zarqani dalam kitab Manahilul Irfan
Tafsir dengan maksur ada dua macam:
a.       Tafsir yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan sahih dan diterima. Tafsir seperti ini diterima.
b.      Tafsir yang dalil/sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor. Tafsir seperti ini ditolak.
2.      Tafsir Dirayah (Ra’yu)
a.       Pengertian: Ra’yu ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahiah, kaidah ayng murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya.
b.      Macam-macam tafsir ra’yu
·         Tafsir mahmud: tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslub dala, memahami teks-teks al-Qur’an.
·         Tafsir mazmum: bila al-Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehandak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat, atau Kalam Alloh itu ditafsirkan menurut pendapat yang salah dan sesat.
c.       Pedoman penafsiran (dengan ra’yu)
Pertama: dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadist-hadist yang dhaif dan maudhu’.
Kedua: mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu’
Ketiga: mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang aternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arob.
Keempat: pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan ketentuan syara’.
d.      Tingkatan tafsir
Pertama: tingkatan yang tinggi.
Syaratnya: mengetahui hakikat lafal yang dikemukakan dalam al-Qur’an secara mufradat berdasarkan penggunaan ahli bahasa; mengetahui uslub; mengetahui ilmu antropologi; mengetahui segi petunjuk al-Qur’an untuk kemanusiaan dan mengetahui keadaan orang-orang jahiliah dari segi kehancuran/kebinasaan dan kesesatan; mengetahui perilaku Nabi saw dan para sahabatnya serta mengetahui segala sesuatu yang ada padanya, baik berupa ilmu maupun  amal, urusan agama maupun dunia.
Kedua: tingkatan yang rendah, tafsir yang mendorong hati seseorang untuk emncintai kebesaran Alloh dan kesucianNya, memalingkan jiwa dari kejelekan serta mendorongnya untuk berbuat kebaikan.
e.       Segi-segi tafsir
·         Berdasarkan kata-kata/bahasa orang Arab.
·         Oleh siapapun.
·         Hanya diketahui ulama.
·         Hanya diketahui oleh Alloh.
f.       Beberapa pendapat ulama tentnag kebolehan penafsiran dengan ra’yu
Pertama: tidak diperbolehkan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan.
Kedua: boleh dengan ra’yu dengan syarat harus memenuhi persyaratn-persyaratan diatas.
Alasan tidak memperbolehkan: tidak berdasarkan ilmu, ancaman
(dalam hadits Turmudzi), yang menjelaskan al-Qur’an hanyalah Rasul, para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu.
Alasan membolehkan: tadabbur dan tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia al-Qur’an dan berusaha memahami al-Qur’an, manusia dibagi dalam beberapa kelompok, bila penafsiran dengan ijtihad tidak diperbolehkan maka ijtihad sendiri niscaya tidak diperbolehkan, ketika mmebaca al-Qur’an para sahabat berbeda pendapat dalam cara penafsirannya, takwil adalah penafsiran dengna ra’yu atau ijtihad.
Bantahan terhadap pendapat yang tidak membenarkan: tafsir dengan ijtihad itu tidaklah membuat-buat Kalam Alloh tanpa alasan, karena hal itu dibolehkan oleh syara’; Nabi saw berpulanhg kerahmatullah sebelum menjelaskan seluruh ayat-ayat al-Qur’an secara mendalam.
3.      Tafsir Isyari dan Gharaibut Tafsir
a.       Tafsir Isyari: penafsiran al-Qur’an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh subagaian ulama.
b.      Pendapat ulama tentang tafsir Isyari.
c.       Persyaratan tafsir Isyari: tidak bertolak belakang dengan susunan al-Qur’an yang lahir; tidak menyatakan bahwa maksud sebenarnya hanayalah isyari yang tersirat bukan tersurat; penakwilan tidak ada hubungannya dengan lafal; tidak bertentangan dengan hukum syariat dan aqli; tidak menimbulakn kekacauan di kalangan masyarakat.
4.      Garib Tafsir (tafsir yang janggal)

b.      Beberapa metode tafsir
1.      Tafsir Tahlili
Tafsir Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelasakan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
Dalam metode ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per-ayat, surat per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu dengan yang lain, Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan lain-lain.
Ciri-ciri:
Penafsiran yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi (pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan Asbab An-Nuzul dari ayat-ayat yg ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula penafsiran-penafsiran yg pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabi^in, Tabi Tabi^in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah antara ayat yg satu dengan yg lainnya.
Ciri lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan lain-lain.
2.      Tafsir Ijmali
Tafsir Ijmali adalah menafsirkan Al-Qur an dengan cara menjelaskan maksud Al Qur an secar global, tidak terperinci sepert tafsir tahlili, (Hidayat, 1996: 191) atau menjelaskan ayat-ayat Al Qur-an secara ringkas tapi mencakup dgn bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yg terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al Qur-an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan Al Qur-an padahal yg didengarnya adalah tafsirannya. Tafsir dengan metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yyg terkandung dalam Al Qur-an. Karena dgn metode tafsir ijmali, seorang mufassir berbicara kepada pembacanya dgn cara yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yg dapat menjelaskan arti ayat sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti yg dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami kandungan pokok Al Qur-an.
Ciri-ciri:
Penafsiran yg dilakukan terhadap ayat-ayat Al Qur-an, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dan kadangkala mufassir menafsirkan Al Qur-an dgn lafazh Al Qur-an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Al Qur-an dgn penyajiannya yg mudah dan indah. Metode tafsir Ijmali ini hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.
3.       Tafsir Muqoron
Pengertian metode tafsir Muqoron adalah: 1) membangdingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur-an yg memiliki kesamaan redaksi dalam 2 kasus lebih, dan atau memiliki berbeda bagi satu kasus yg sama; 2) membandingkan ayat Al Qur-an dgn hadits yg pada lahirnya bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam menafsirkan Al Qur-an (Baidan 1998: 65)
Definisi di atas menunjukkan bahwa, penafsiran Al Qur-an dgm metode ini memiliki cakupan yg amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dgn ayat, ayat dgn hadits, tapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat.
Ciri-ciri:
Metode ini mempunyai ciri khas yg dapat membedakannya dari metode lain yaitu membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dgn ayat, atau ayat dengan hadits, baik merka termasuk ulama salaf ataupun ulama hadits yg metode dan kecenderungan merka berbeda-beda, baik penafsiran merka yg berdasarkan riwayat yg bersumber dari Rosulullah SAW, Sahabat atau Tabi^in ( tafsir bil ma’tsur) atau berdasarkan rasio, ijtihad (tafsir bil ra’y) dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yg berbeda dalam penafsiran Al Qur-an.
Mufassir dengan metode ini dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yg mereka kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk menerima penafsiran yg dinilai benar dan menolak penafsiran yg tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.
4.      Tafsir Maudhu`i
Metode tafsir Maudhu^i / tematik adalah suatu metode penafsiran Al Qur-an dimana seorang mufassir mengkaji Al Qur-an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan dalam Al Qur-an, baik yang berkaitan dengan hal kehidupan, sosiologi, ataupan kosmologi (Muhaimin, 1994: 120) . Dalam metode ini, semua ayat yg berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yg terkait dengannya, seperti asbaabun nuzul, kosa kata, dsb. Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yg dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ciri-ciri:
Sesuai dengan namanya, maka yg menjadi ciri utama dari metode ini ialah penonjolan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal (Baidan, 1998: 152)
Tafsir Maudhu’i mempunyai dua bentuk kajian yg menjadi ciri utamanya: Pertama, pembahasan mengenai satusurat secara menyeluruh dan utuh dgn menjelaskan maksudnya yg bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yg dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yg betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yg sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupadan diletakkan di bawah satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan secara Maudhui.
Kemudian untuk cara kerjanya (yg menjadi ciri khas metode ini) Abd al- Farmawi (1977: 52) merumuskannya sbb: (a) menetapkan masalah/tema yg akan dibahas; (b) menghimpun ayat-ayat yg berkaitan dgn masalah tersebut; (c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; (d) memahami korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya masing-masing; (e) menyusun pembahasan dalam rangka yg sempurna; (f) melengkapi pembahasan dgn hadits-hadits yg relevan dgn pokok pembahasan; (g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dgn jalan menghimpun ayat-ayat yg memiliki pengertian sama, atau mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang ”muqoyyad”, atau yg lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam satu muara tanpa perbedaan
c.       Corak penafsiran
1.      Tafsîr bil ma’tsûr
Tafsir bil ma’tsur pada dasarnya menampilkan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang diambil dari sumber-sumber tradisional Islam yang secara hierarkhis diurutkan mulai dari al-Qur’an, hadis Nabi SAW, atsar sahabat, dan qawl tabiin.
Contoh Tafsir yang menampilkan corak penafsiran bil ma’tsur dengan rangkaian sanad yang lengkap adalah karya Ibnu Jarir at-Tabarī (w. 310 H), Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an. Di dalam kitab ini Tabari selain menyebutkan pendapat, juga memberikan arahan, menimbang validitas riwayat antara satu dengan yang lain, juga memberikan penjelasan tentang i’rab jika dibutuhkan, serta memberikan istinbat hukum yang dimungkinkan untuk diambil dari ayat-ayat Quran tersebut (Dzahabi, TM, i/142).
2.      Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah sebutan untuk tafsir al-Quran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad. Prasayarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir dalam penafsiran ini adalah pengetahuan yang baik tentang kalimat bahasa Arab dan aspek-aspeknya. Selain itu, ada juga yang mensyaratkan bahwa seorang mufassir juga harus memiliki pengetahuan tentang syair-syair jahiliah, serta mengetahui asbab al-nuzul, memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal nasikh mansukh ayat al-Quran, dan ilmu lainnya yang menjadi perangkat yang harus dipenuhi seorang mufassir (Dzahabi, TM, 1/152).
Diantara karya-karya tafsir bi al-ra’yi yang menonjolkan pandangan ijtihadi para mufassirnya berdasarkan kepasitas ilmiah yang mereka kuasai adalah: Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Rāzī (w.606 H); Anwār al-Tanzīl wa asrār al-ta’wīl karya al-Baghāwī (w.691 H);Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H);Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H); dan Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
3.      Tafsir Sufi
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran esoteris terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Corak penafsiran ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna: zhahir, batin, hadd, dan matla’. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-Azhim, karya Sahl al-Tustarī (w.283 H); Haqā’iq al-Tafsīrkarya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H); Lata’if al-Isyaratkarya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606).
4.      Tafsir Fiqhî
Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya. Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
5.      Tafsir Falsafi
Latar belakang yang menyebabkan munculnya corak penafsiran falsafi terhadap al-Qur’an adalah karena berkembang pesatnya gerakan penerjemahan yang dilakukan pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Kitab tafsir yang tergolong ke dalam corak penafsiran falsafi yang mewakili kelompok yang menolak filsafat adalah Mafātih al-Ghaybkarya Fakhr al-Razī (w. 606 H), sedangkan dari kelompok yang kedua, menurut Husein al-Dzahabi, tidak ada karya yang bisa dikelompokkan sebagai sebuah karya tafsir selain dari penafsiran terhadap penggalan-penggalan ayat al-Qur’an yang terserak di antara kitab-kitab filsafat yang mereka susun.
6.      Tafsir Ilmi
Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.” Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.
7.      Tafsîr Adabî ijtima‘î
Corak Adabi Ijtima’i adalah corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah Tafsir al-Manarkarya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935), Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945), dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut.

12.     MUFASIR DAN KAIDAH PENAFSIRAN
a.      Syarat dan adab mufasir
b.      Ilmu yang dibutuhkan
·         Mengetahui dan memahami ilmu nahwu sharaf.
·         Mengetahui ilmu balagah.
·         Mengetahui ushul fiqih.
·         Mengetahui asbabun nuzul.
·         Mengetahui nasakh dan mansukh.
·         Mengetahui ilmu qira’at.
·         Ilmu mauhibah.
c.       Qawaid tafsir
13.     TAFSIR AL-QUR’AN DAN PENAFSIRANNYA
a.      Ahli tafsir golongan sahabat dan tabi’in
1.      Golongan sahabat: Abdullah Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
2.      Golongan Tabi’in:
a.       Kelompok mekkah: mujahid bin Jabar, Atha’ bin Abi Rabbah, Ikrimah maula Ibnu Abbas, thawus bin khaisan Al-Yamani, Said bin Jubair.
b.      Kelompok Madinah: Muhammad bin Ka’ab Al-Qurzi, Abul Aliyah Ar-riyahi, Zaid bin Aslam,
c.       Kelompok Irak: Hasan Al-Bashri, Masruq Ibnu Al-Ajda’, Qatadah bin Diamah, Atha’ Al-Khurasani, MurrahAl-Hamdzani.
b.      Kitab tafsir terkenal
1.      Kitab-kitab tafsir riwayat: tafsir Ibnu Jarir, tafsir As-Samarqandi, tafsir Ats-Tsalabi, tafsir Al-Baghawi, tafsir Ibnu Athiyah, Tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al-Jawahir, tafsir As-Suyuti.
2.      Kitab-kitab tafsir Dirayah yang masyhur: tafsir Al-Fahrurrazi, tafsir Al-aidawi, tafsir Khazin, tafsir An-Nasafi, tafsir An-Naisaburi, tafsir Abi Sa’ud, tafsir Abi Hayyan, tafsir Al-Alusi.
3.      Kitab-kitab tafsir ayah ahkam: tafsir Al-Jassas, tafsir Lukya Al-Harasi, tafsir As-Sayuti, tafsir Ibnul Arabi, tafsir Al-Qurtubi, tafsir As-Sayuri, tafsir Az-Zaidi.
4.      Kitab-kitab tafsir Isyari: tafsir At-Tusturi, tafsir As-Silmi, tafsir An-Naisaburi, tafsir Ibnu Arabi, tafsir Al-Alusi.
5.      Tafsir Golongan Mu’tazilah dan Syi’ah: tafsir Al-Hamdani, tafsir Al-Murtadi, tafsir Az-Zamakhsyari, tafsir Al-Misykat, tafsir Al-Askari, tafsir At-Tubrusi, tafsir Al-Kasyi, tafsir Al-Alawi, tafsir Al-Khurasani.
6.      Kitab-kitab tafsir arab modern: tafsir Al-Manar, tafsir Al-Maragi, tafsir Al-Qasimi, tafsir Al-Zilal, tafsir Al-Waidh, tafsir Al-Jauhari, tafsir Isa, tafsir Wajdi, tafsir Ad-Damanhuri, tafsirMakhluf, tafsir Hasan Khan.

14.     ILMU-ILMU AL-QUR’AN YANG LAIN
a.      Amm dan khash
1.      Devinisi ‘Amm
Yang dimaksud dengan ‘Amm adalah suatu lafadh yang menunjukkan pengertian umum menurut makna yang sebenarnya, tidak dibatasi oleh jumlah dan tidak pula menunjukkan bilangan tertentu.
2.      Tanda-tanda ‘Amm
Tanda-tanda ‘Amm antara lain:
a.        Isim mufrod yang memakai alif lam harfiyah seperti al-Insan.
b.       Isim jamak yang memakai alif lam
c.        Lafadh yang di idhafahkan kepada ma’rifat
d.       Isim maushul
e.        Isim nakirah yang didahului dafi
f.        Isim isyarat yang memakai jawab dengan huruf istifhamiyah
g.       Lafadh kullun dan jami’un
h.       Lafadh ma’syara dan kaffah
i.         Nafyul musawah bainasy sya-isini
j.         Fi’il Amr dalam bentuk jamak
3.      Macam-macam amm
a.       ‘Amm yang tetap pada keumumannya (al-’Amm al-Baqi ‘ala ‘Ummiyyah).
b.      ‘Amm yang dimaksud khusus (al-’Amm al-Murad Bihi al-Khusus).
c.       ‘Amm yang dikhususkan (al-’Amm al-Makhsus).
4.      Khash
Khass adalah lawan kata ‘Amm, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadh ‘Amm. Dan muKhassis (yang mengkususkan) adakalanya muttasil, yaitu yang diantara ‘Amm dengan muKhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfassil, yaitu kebalikan dari muttasil.
b.      Muhkam dan mutasyabih
1.      Muhkam
Muhkam berasal dari kata Ihkam yang bearti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
2.      Mutasyabih
kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan secara terminology Al Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelasmaksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau Allah yang mengetahuinya.

c.       Mutlaq dan muqoyyad
1.      Mutlaq
Mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya.
Contoh firman Allah berikut ini :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)
Artinya:
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) termasuk lafadz mutlaq yang mencakup semua jenis raqabah(hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa mencakup raqabah laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman.  Jika dilihat dari segi cakupannya, maka lafadz mutlaqadalah sama dengan lafadz ‘am. Namun keduanya tetap memiliki perbedaan yang prinsip, yaitu lafadz ‘am mempunyai sifat syumuli (melingkupi) atau kulli (keseluruhan) yang berlaku atas satuan-satuan, sedangkan keumuman dalam lafadz mutlaq bersifat badali (pengganti) dari keseluruhan dan tidak berlaku atas satuan-satuan tetapi hanya menggambarkan satuan yang meliputi.
2.      Muqqoyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
 وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:93)
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang  datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkanqayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.

d.      Mantuq dan mafhum
Mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum
15.     ILMU-ILMU ALQUR’AN YANG LAIN
a.      Qasm
1.      Defenisi dan Modal QasamAqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Shighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di muta’addi (transitif) kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah) kemudian muqsam alaih, yang dinamakan dengan jawab Qasam.
2.      Qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna. 
3.      Jenis-jenis Qasm
a. Zhahir, ialah sumpah yang didalamnya disebutkan Fi’il qasam dan muqsam bih dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf berupa “ba”, “wawu” dan “ta”. 
b. Mudhmar, yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk kedalam jawab qasam.
b.      Jadal
Secara bahasa jadal berasal dari kata جَدَلَ-يَجْدُلُ – جُدُوْلًا yang artinya صَلُبَ وَ قَوِيَ atau dalam arti lain الحَبًّ : قَوِيَ فِى سنبله[8]
Adapun secara istilah Jadal dan Jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata جَدَلْتُ الحَبْل yakni اَحْكَمْتُ فَتْلَهُ (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipeganginya.[9]
Dalam literatur lain disebutkan depinisi “Al-jadal ” dan al-jidal, maknanya bertarung dalam bentuk beradu dan tewas menewas. asal kalimat ini ialah ” saya menyimpul tali “  yakni……apabila saya memperkemaskan simpulannya. “tali yang tersimpul” ialah tali yang telah dikemas kuatkan simpulannya.[10] Dengan maksud, seolah olah mereka yang berdebat saling memperkuatkan hujjah dan menyimpulkannya, sebagaimana beliau menguatkankan simpulan tali, supaya dengan menguatkan hujjahnya beliau akan dapat menewaskan  lawannya.
Metode Berdebat yang ditempuh al-Qur’an

c.       Qashash
1.      Pengertian
Menurut bahasa, kata qashash berarti kisah, cerita, berita atau keadaan . Kata kisah berasal dari bahasa Arab qishshah, yang diambil dari kata dasar qa sha sha. Kata dasar tersebut ditampilkan al-Qur’an hingga sebanyak 26 kali.
2.      Metode mempelajari qashash Al-Qur’an
a.    Gaib pada masa lalu; dikatakan masa lalu karena kisah-kisah tersebut merupakan hal gaib yang terjadi pada masa lampau, dan disadari atau tidak kita tidak menyaksikan peristiwa tersebut, tidak mendengarkan juga tidak mengalaminya sendiri.
b.    Gaib pada masa kini; dalam artian bahwa kisah tersebut terjadi pada masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya di bumi ini.
c.     Gaib pada masa depan; dengan penjelasan bahwa semua akan terjadi pada masa depan ( di akhir zaman),
3.      Macam-macam kisah dalam al-Qur’an
Menurut Manna al-Qaththan,  kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:[8]
a.       Kisah Anbiya’ yakni kisah yang mengandung dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
b.      Kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
c.       Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.
4.      Faedah Qashash al-Qur’an
a.     Menjelaskan asas-asas dan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok pokok syari’at yang diajarkan oleh para Nabi.
b.    Meneguhkan Hati Rosulullah SAW dan umatnya dalam mengamalkan agama Allah (Islam), serta menguatkan kepercayaan para mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang yang sesat.
c.     Menyibak kebohongan para Ahli Kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka tentang isi kitab mereka sendiri sebelum kitab tersebut diubah dan diganti seperti firman Allah.
d.      Fatawih suwar
1.      Dari segi bahasa, fawatihus suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah, huruf cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun, tidaklah berbeda dari lafazh yang diucapkan pada huruf hijaiyah.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis sebuah kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini, yaitu kitab Al-Khaqathir Al-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Ia mencoba menggambarkan tentang beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam Al-Quran. Pembagian karakter pembukaannya adalah sebagai berikut.Pertama, pujian terhadap Allah swt yang dinisbahkan kepada sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Kedua, yang menggunakan huruf-huruf hijaiyah; terdapat pada 29 surat. ketiga, dengan mempergunakan kata seru (ahrufun nida), terdapat dalam sepuluh surat. lima seruan ditujukan kepada Rasul secara khusus. Dan limayang lain ditujukan kepada umat. Keempat, kalimat berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat. kelima, dalam bentuk sumpah (Al-Aqsam); terdapat dalam 15 surat.
2.      Macam-macam fawatih as suwar
a.       Pembukan dengan pujian kepada Allah (al-istiftah bi al-tsana).
b.      Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus (Istiftah bi al-huruf al-muqatha’ah).
c.       Pembukaan dengan panggilan (al-istiftah bi al-nida).
d.      Pembukaan dengan kalimat (jumlah) khabariah (al-istiftah bi al-jumal al-khabariayyah).
e.       Pembukaan dengan sumpa (al-istiftah bi al-qasam).
f.       Pembukaan dengan syarat (al-istiftah bi al-syarth).
g.      Pembukaan dengan kata kerja perintah (al-istiftah bi al-amr)
h.      Pembukaan dengan pertanyaan (al-istiftah bi al-istifham)
i.        Pembukaan dengan doa (al-istiftah bi al-du’a)
j.        Pembukaan dengan alasan (al-istiftah bi al-ta’lil)



DAFTAR PUSTAKA



Ash Shiddiqy TM Hasby. 1994. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an. Jakarta: Bulan Bintang
Drs. Muhammad Chirzin. 1998. Al-Quran dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa
HASANUDDIN AF. 1995. Anatomi Qur’an; Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Manna’ Khalil al-Qattan(trjmah; Drs, Mudzakir AS), Studi Ilmu-ilmu a-Qur’an,Litera Antar Nusa, Halim Jaya, Jakarta, 2002. hal 426
MUDZAKKIR AS, Drs. 1994. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Lintera Antar Nusa
Prof Dr. Muhammad Ali Ash – Shahbuuniy. 1998. STUDI ILMU AL-QUR’AN. Bandung: CV PUSTAKA SETIA
Supiana, M, Ag- M. Karman, M. Ag. 2002. Ulum Quran. Bandung: Pustaka Islamika