11. ULUMUL QUR’AN
A.
Pengertian
Kata ulum jamak dari kata ilmu. Ilmu berarti al-fahmu wal idraak
(faham dan menguasai). Kemudian arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang
beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan uluumul qur’an ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an dari segi asbaabu nuzuul
(sebab-sebab turunnya al-qur’an) pengumpulan dan penertiban Qur’an, pengetahuan
tentang surah-surah Mekah dan Madinah, nasikh wal mansukh, al-Muhkam wal Mutasyaabih
dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur`an.
Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushuulu tafsir (dasar-dasar
tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus
diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an.
B.
Sejarah
Sejarah
perkembangan ulumul quran dimulai menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap fase
menjadi dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga ulumul quran
menjadi sebuah ilmu khusus yang dipelajari dan dibahas secara khusus pula.
Berikut beberapa fase tahapan perkembangan ulumul quran.
1.
ULUMUL QURAN pada MASA RASULULLAH SAW
Embrio awal ulumul quran pada masa ini berupa penafsiran ayat
al-Quran langsung dari Rasulullah SAW kepada para sahabat, begitu pula dengan
antusiasime para sahabat dalam bertanya tentang makna suatu ayat, menghafalkan
dan mempelajari hukum-hukumnya.
a. Rasulullah SAW menafsirkan kepada sahabat beberapa ayat.
Dari Uqbah bin Amir ia berkata : " aku pernah mendengar
Rasulullah SAW berkata diatas mimbar, "dan siapkan untuk menghadapi mereka
kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal: 60), ingatlah bahwa kekuatan disini adalah
memanah." (HR Muslim)
b. Antusiasme sahabat dalam menghafal dan mempelajari al-Quran.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrrahman as-sulami, ia mengatakan :
" mereka yang membacakan qur'an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan
Abdullah bin Mas'ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar
dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu
dan amal yang ada didalamnya, mereka berkata 'kami mempelajari qur'an berikut
ilmu dan amalnya sekaligus.”
c.
Larangan Rasulullah SAW untuk menulis selain qur'an, sebagai upaya menjaga
kemurnian al-Quran.
Dari Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: Janganlah
kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan aku selain qur'an, hendaklah
dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya, dan
barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api
neraka."(HR Muslim)
2.
ULUMUL QURAN MASA KHALIFAH
Pada masa khalifah, tahapan perkembangan awal (embrio) ulumul quran
mulai berkembang pesat, diantaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah
sebagaimana berikut :
a.
Khalifah Abu Bakar :dengan
Kebijakan Pengumpulan (Penulisan al-Quran yang pertama yang diprakarsai oleh
Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid bin Tsabit).
b.
Kekhalifahan Usman Ra : dengan
kebijakan menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana.
Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke
beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rosmul 'Usmani yaitu
dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu Rasmil
Qur'an.
c. Kekhalifahan
Ali Ra dengan kebijakan perintahnya kepada
Abu 'aswad Ad-Du'ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat
dan baku dan memberikan ketentuan harakat pada qur'an. Ini juga disebut sebagai
permulaan Ilmu I'rabil Qur'an.
3.
ULUMUL QURAN MASA SAHABAT & TABI'IN
a. Peranan Sahabat dalam Penafsiran Al-Quran & Tokoh-tokohnya.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan
makna-makna al-qur'an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka,
sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena
adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW , hal
demikian diteruskan oleh murid-murid mereka yaitu para tabi'in.
Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah:
1.
Empat
orang Khalifah ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali )
2.
Ibnu
Masud,
3.
Ibnu
Abbas,
4.
Ubai
bin Kaab,
5.
Zaid
bin sabit,
6.
Abu
Musa al-Asy'ari
7.
Abdullah
bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari
mereka tidak berarti merupakan sudah tafsir al-Quran yang sempurna. Tetapi
terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsirancapa yang masih samar
dan penjelasan apa yang masih global.
b. Peranan Tabi'in dalam penafsiran Al-Quran & Tokoh-tokohnya
Mengenai para tabi'in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal
yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri
bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad
dalam menafsirkan ayat. Yang terkenal di antara mereka , masing-masing
sebagai berikut :
1.
Murid
Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah, Sa'id bin ubair, Mujahid, 'iKrimah bekas sahaya ( maula
) Ibnu Abbas, Tawus bin kisan al Yamani dan 'Ata' bin abu Rabah.
2.
Murid
Ubai bin Kaab, di Madinah : Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka'b
al Qurazi.
3.
Abdullah
bin Masud di Iraq yang terkenal : 'Alqamah bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid,
'Amir as Sya'bi, Hasan Al Basyri dan Qatadah bin Di'amah as Sadusi.
Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu
Gharibil Qur'an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Makki Wal madani dan ilmu Nasikh dan
Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
4.
ULUMUL QUR'AN MASA MODERN / KONTEMPORER
Sebagaimana pada periode sebelumnya, perkembangan ulumul quran pada
masa kontemporer ini juga berlanjut seputar penulisan sebuah metode atau cabang
ilmu al-Quran secara khusus dan terpisah, sebagaimana ada pula yang kembali
membali menyusun atau menyatukan cabang-cabang ulumul quran dalam kitab
tersendiri dengan penulisan yang lebih sederhana dan sistematis dari
kitab-kitab klasik terdahulu.
3.
SEJARAH PENURUNAN DAN PEMELIHARAAN
A.
Konsep Wahyu
Wahyu berarti
suara, apai, kecepatan. Wahyu juga berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan
dengan cepat.
Dan tidak
mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (42: 51)
Cara-cara
penurunan wahyu aada tiga cara, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk
ilham; melalui belakang tabir sebagaimana yang terjadi kepada Nabi Musa; dan
melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
B.
Proses turunnya
Allah
memberikan wahyu kepada para rasul-Nya ada yang melalui perantaraan dan ada
yang tidak.
1.
CARA PERTAMA : TANPA MELALUI PERANTARAAN.
Diantaranya ialah dengan :
a.
Mimpi
yang benar didalam tidur.
Dari Aisyah r.a dia berkata : sesungguhnya apa yang mula-mula
terjadi pada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur, beliau
tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya di waktu
pagi hari. Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para
Nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih
anaknya, Ismail
Mimpi
yang benar itu tidaklah khusus bagi para rasul saja, mimpi yang demikian itu tetap
ada pada kaum mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu Hal itu seperti
dikatakan oleh Rasulullah SAW : Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita
gembira tetap ada, yaitun mimpi orang mukmin.
b.
Kalam
ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara.
2.
CARA KEDUA MELALUI PERANTARAAN MALAIKAT
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul :
a.
Cara pertama : Datang kepadanya suara seperti
dencingan lonceng dan suara yang sangat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor
kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu.
b.
Cara
kedua : Malaikat menjelma kepada rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk
manusia. Cara ini lebih ringan dari pada yang sebelumnya. Karena ada kesesuaian
antara pembicara dan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengar dari
utusan pembawa wahyu itu. Karena merasa seperti manusia yang berhadapan
saudaranya sendiri.
C.
Pengumpulan al-Qur’an
1.
Pengumpulan Al – Qur’an Pada Masa Nabi saw
Pengumpulan
ayat – ayat al – Qur’an ada dua periode:
1.
Periode
Nabi saw, terdiri atas dua kategori:
Pengumpulan
dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati, dan mengamalkan.
Pengumpulan
dalam dokumen, dengan cara menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk
ukiran.
2.
Periode
Khulafaur Rasyidin.
2.
Pengumpulan Al – Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Setelah
wafatnya Rasululloh saw, kekhilafahan dipegang oleh Abu Bakar Siddiq r.a. Dalam
masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi problem yang rumit, salah satunya
memerangi orang yang murtad dan memerangi pengikut Musailamah Al – Kadzdzab.
Ketika
peperangan Yamamah, banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli
bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih dari 70 haffis ternama.
Untuk
menjaga agar al – Qur’an tidak lenyap karena banyak huffas yang gugur. Abu
Bakar mengutus Zaid Bin Tsabit dan menyuruhnya segera mengumpulkan Al – Qur’an
dalam satu mushaf.
3.
Beberapa kejadian sekitar pengumpulan al-Qur’an
1.
Keraguan
Abu Bakar dalam pengumpulan mushaf dikarenakan apabila sudah dikumpulakn
nantinya minat menghafal dan menghayati mereka terhadap kitab suci menjadi lemah.
2.
Abu
Bakar memilih Zaid Bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an dikarenakan Zaid
memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menghafal al-Qur’an dan ia adalah
sekretaris Rasululloh saw.
4.
Langkah yang tepat dalam pengumpulan al-Qur’an
Penyelidikan
berdasarkan pada dua sumber:
1.
Sumber
hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat.
2.
Sumber
tulisan yang ditulis jaman Rasululloh saw.
5.
Beberapa keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq
1.
Diperoleh
dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2.
Yang
tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaanya.
3.
Ijma
umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah
ayat-ayat al-Qur’an.
4.
Mushaf
mencakup qiraat sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar
shahih.
6.
Mengapa al-Qur’an tidak dibukukan dalam satu mushaf (pada masa
Nabi)?
1.
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur.
2.
Sebagaian
ayat ada ayng dimansukh.
3.
Susuna
surat dan ayat tidaklah berdasarkan urutan turunnya.
4.
Masa
turunnya wahyu terakhir dengan meninggalnya Rasululloh saw. sangatlah dekat.
5.
Belum
ada motivasi untuk mengumpulkan menjadi satu mushaf.
7.
Pengumpulan al-Qur’an dimasa Utsman
Daerah
kekuasaan Islam pada masa Ustman sudah meluas dan orang-orang Islam terpencar
di berbagai daerah dan kota-kota. Akhirnya mereka mengikuti bacaan dari orang
yang ahli di daerahnya, tetapi para ahli tersebut masih berbeda dalam bunyi
huruf dan bentuk bacaan, akhirnya, Ustman menugaskan kepada empat sahabat Zaid
bin tsabit, abdulloh bin Zubai, Said ibn Al-Ash, dan Abdurrahamn Ibnu Hisyam
untuk menyalin dan memperbanyak mushaf Abu Bakar yang pada saat itu dibawa
Hafsah binti Umar.
8.
Motif Ustman mengumpulkan al-Qur’an
Perbedaan
bacaan al-Qur’an.
9.
Perbedaan mushaf Abu Bakar dan Ustman
Pengumpulan:
Abu Bakar, bentuk pemindahan dan penulisannya al-Qur’an kedalam satu mushaf
yang ayat-ayatnya sedah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada
kepingan-kepingan batu, pelepah kurma, dan kulit-kulit binatang.
Ustman:
menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan
untuk dikirimkan ke seluruh negara Islam.
Latar
belakang: Abu Bakar: banyaknya huffaz yang gugur.
Ustman:
perbedaan dalam hal membaca al-Qur’an.
3.
PENULISAN (RASM) AL-QUR’AN
Pada awalnya, penulisan al-Qur’an
terdapat pada batu dan benda-benda lain sebelum dibukukan. Hingga perkembangan
membawa al-Qur’an pada proses pengumpulan dan pembukuan masa khalifah Abu Bakar
As Shiddiq.
4.
MAKKIYAH DAN MADANIYAH
I.
Batasan tentang makkiyah dan madaniyah
a.
Berdasarkan
tempat turunnya:
Makkiyah
adalah suatu surah yang di nuzulkan di makkah. Madaniyah adaah suatu surah yang
dinuzulkan di madinah.
b.
Berdasarkan
seruan dalam ayat tersebut:
Makkiyah
adalah ayat yang seruannya ditujukan kepada penduduk makkah. Madaniyah adalah
ayat yang seruannya ditujukan kepada penduduk madinah.
c.
Berdasarkan
masa turunnya:
Makkiyah
adalah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Madaniyah adalah
yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah.
II.
Kelompok surat makkiyah dan madaniyah
Surat-surat
al-Qur’an terbagi empat macam:
a.
Surat-surat
makkiyah murni.
b.
Surat-surat
madaniyah murni.
c.
Surat-surat
makkiyah yang berisi ayat-ayat madaniyah.
d.
Surat-surat
madaniyah yang berisi ayat-ayat makkiyah.
III.
Ciri-ciri khusus surat makkiyah
a.
Surat
yang terdapat ayat sajdah.
b.
Mengandung
lafaz kalla.
c.
Terdapat
kisah Nabi dan umat-umat terdahulu kecuali al-Baqarah dan ali Imran.
d.
Terdapat
kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali al-Baqarah.
e.
Diawali
dengan huruf tahijjiy.
f.
Mengandung
seruan untuk beriman kepada Alloh dan hari kiamat dan apa-apa yang akan terjadi
di akhirat.
g.
Membantah
argumen kaum musyrikin dan menjelaskan kekeliruan mereka terhadap
berhala-berhala.
h.
Mengandung
seruan berakhlaq mulia.
i.
Terdapat
kalimat sumpah dan ayatnya pendek-pendek.
IV.
Ciri-ciri khusus surat madaniyah
a.
Ayat
berisi hukum pidana, warisan.
b.
Mengandung
ijin jihad, urusan-urusan perang.
c.
Menjelaskan
hukum-hukum amaliyah, masalah ibadah, masalah muamalah.
d.
Sebagian
suratnya panjang-panjang.
V.
Kedudukan dan kegunaan ilmu makki wal madani
a.
Dijadikan
alat bantu dalam menafsirka al-Qur’an.
b.
Meresapi
gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan
Alloh.
c.
Mengetahui
sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur’an.
5.
Asbabun Nuzul
a.
Pengertian
Asbabun nuzul artinya sebab – sebab turunnya ayat Al- Qur’an. Ilmu
ini sangat bermanfaat dalam memahami ayat. Ilmu asbabul nuzul sangat diperlukan
dalam mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayat Al – Qur’an. Dengan demikian, maka tidak
mungkin terdapat diantaranya ayat Al – Qur’an yang tidak diketahui hukumnya
tanpa ilmu asbabun nuzul (Qs. Al – Baqarah: 115).
Macam-macamnya:
1.
Kedua-duanya
harus mengungkapkan ucapannya, seperti “Ayat ini turun dalam begini...”kemudian
menyebutkan masalah yang lain. Masalah tersebut bisa dijadikan suatu istimbat
yang dapat membentuk suatu hukum.
2.
Yangd
satunya lagi ahrus mengungkapkan kata-katanya, seperti “Ayat ini turun dalam
begini...” kemudiaan menyebutkan sebab – sebab turunnya.
3.
Masing
– masing harus menyebutkan sebab – sebab turunnya secara gamblang dan yang
dijadikan pedoman adalah yang shahih.
4.
Isnad
keduanya harus sama – sama shahih, sehingga kita dapat mentarjih salah satu
diantara keduanya dengan yang lain dalam suatu segi.
5.
Masing
– masing kedua riwayat itu isnadnya harus shahih dan jarak waktu antara
keduanya harus dekat.
6.
Tidak
ada alternatif untuk memadukan antara riwayat – riwayat yang shahih, maka yang
diambil adalah jumlah nuzuul dan ulangan– ulangannya, sebab jangka waktu antara
keduanya jauh sekali.
b.
Cara mengetahui
Asbabun nuzul tidak bisa semata – mata diketahui dengan akal,
melainkan berdasarkan riwayat yang shahih dan dedengar langsung oleh orang –
orang yang tahu turunnya Al – Qur’an atau dari orang – orang yang mengetahui
asbabun nuzul lalu mereka menelitinya dengan cermat baik dari kalangan sahabat,
tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama –
ulama yang dapat dipercaya.
Cara mengetahui asbabun nuzul:
1.
Apabila
perawi sendiri menyatakan lafal sebab secara tegas.
2.
Apabila
perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukkan huruf “fa ta’qibiyah” pada kata
“nazala” seperti kata – kata perawi.
c.
Urgensi asbabun nuzul
1.
Mengetahui
bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat.
2.
Menentukan
hukum dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya
sebab.
3.
Menghindarkan
prasangka bahwa arti hasr dalam suatu ayat yang zahirnya hasr.
4.
Mengetahui
orang atau kelompok yang menjadi kasus turunya ayat serta memberikan ketegasan
bila terdapat keragu – raguan.
6.
NASAKH DAN MANSUKH
a.
Pengertian nasakh
Secara etimologi: Kata nasakh juga
berarti mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain. Seperti yang terdapat
dalam surat An-Nahl ayat 101 yang artinya: Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b.
Cara mengetahui nasakh dan mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat
dengan cara-cara sebagai berikut.
1. Keterangan tegas dan nabi atau sahabat,
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat mi nasakh dan ayat itu
mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian tununnya dalam perspektif
sejarah.
c. Beberapa pandangan tentang nasakh
Ada
tidaknya nasakh mansukh dalam Al-quran sejak dahulu diperdebatkan para
ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut adalah
berawal dan pemahaman mereka tentang ayat:
أَفَلاَ
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ
فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
Artinya: Seandainya Aiquran mi datangnya bukan dan
Allah, niscaya mereka akan menemukan kontradiksi yang sangat banyak. (QS.
An-Nisaa’ 82).
Kesimpulan dan ayat di atas mengandung prinsip yang
diyakini kebenarannya oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam
menghadapi ayat-ayat Al-quran yang secara zahir menunjukkan kontradiksi.
Ada dua pendapat ulama tentang
Nasakh dan mansukh yaitu :
1. Nasakh secara Logika
2. Nasakh Secara Logika dan Syara’
d. Pembagian nasakh
Nasakh ada empat bagian:
1. Nasakh Al-quran dengan Al-quran.
2. Nasakh
Al-quran dengan sunnah. Ini terbagi
dua:
a) Nasakh Aiquran
dengan hadis Ahad.
b) Nasakh Aiquran
dengan hadis Mutawatir.
3. Nasakh Sunnah dengan Al-quran.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah.
e. Macam-macam nasakh dalam Al-Qur’an
1. Nasakh tilawah dan
hukum.
2. Nasakh hukum,
tilawahnya tetap.
3. Nasakh tilawah
hukumnya tetap.
f. Contoh-contoh Nasakh
g. Pendekatan dalam
nasakh dan mansukh
7.
Qira’at Al-Qur’an
a.
Pengertian dan hakikat
Pengertian qira’at: satu aliran dalam membaca al-Qur’an yang
dipakai oleh salah seorang imam qura’ yang berbeda dengan hal lainnya dalam hal
ucapan al-Qur’anul Karim.
b.
Sebab-sebab perbedaan qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa
sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1.
Sebagaimana ulama
berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan
qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau
membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76
surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi: مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ )
juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ
) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi: مُتَّكِئِيْنَ
عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَان
2.
Pendapat lain
mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai
qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ
) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3.
Suatu pendapat
mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4.
Jumhur ulama ahli
qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat
Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5.
Sebagian ulama
berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di
kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6.
Perbedaan qira’at
merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan
bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan
sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang
mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
c.
Nisbat Qira’at kepada ahli Qira’at
d.
Bentuk-bentuk dan faidah perbedaan qira’at
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu
ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak
menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
1.
Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi
qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang,
yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at
ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada
akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn
Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas. Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi
makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة :
83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi,
Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا . Contoh
qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا
رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ
.
2.
Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang
sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm
Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi
para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini
dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui
kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
Beberapa contoh qira’at syazzat:
·
Qira’at Aisyah dan
Hafsah
·
Qira’at Ibn Mas’ud
·
Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
·
Qira’at Sa’ad Ibn Abi
Waqash
·
Qira’at Ibn Abbas
·
Qira’at Jabir
3. Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya
qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
a.
Menunjukkan betapa
terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
b.
Meringankan umat Islam
dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
c.
Bukti kemukjizatan
al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu
hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
d.
Penjelasan terhadap apa
yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
e.
Memperbesar pahala.
8.
IJAZ
a.
Pengertian
Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang bertentangan dengan
adat dan keluar dari batas-batas yang telah diketahui. I’jazul Qur’an
(Kemukjizatan al-Qur’an) artinya menetapkan kelemahan manusia, baik secara
berpisah-pisah maupun berkelompok, untuk bisa mendatangkan yang sejenis dengan
al-Qur’an. Tujuan mukjizat adalah untuk melahirkan kebenaran dan menetapkan
bahwa yang mereka bawa itu adalah semata-mata wahyu dari Zat Yang Maha
Bijaksana dan diturunkan dari Zat Yang Mahakuasa. Mukjizat adalah dalil-dalil
Alloh kepada hambaNya untuk membenarkan Rasul-rasul dan Nabi-Nabi.
b.
Konsep mukjizat
1.
Mukjizat
berupa sesuatu yang tidak disanggupi oleh selain Alloh.
2.
Berlawanan
dengan hukum-hukum alam.
3.
Mukjizat
berupa hal yang dijadikan saksi oleh seseorang yang mengaku membawa risalah
Ilahi sebagai bukti atas kebenaran ari pengakuannya.
4.
Terjadi
bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mnegajka bertanding menggunakan mukjizat
tersebut.
5.
Tidak
akan ada seorangpun yang dapat membuktikan dan menandingi dalam pertandingan
tersebut.
“Mukjizat adalah sesuatu di
luar jangkauan kebiasaan keluar dari faktor batasan yang sudah dikenal.
Mukjizat ini diciptakan oleh Alloh bagi seseorang yang diangkat menjadi Nabi
dalam rangka menunaikan tugas kenabiannya sebagai tanda kebenarannya...” (Syekh
Az-Zarqani)
Contoh mukjizat: musa dengan tongkatnya yang bisa menjadi ular.
c.
Fungsi mukjizat
Urgensi pembahasan
I’jaz Al-Qur'an dapat dilihat dari dua tataran:
1. Tataran Teologis
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin menambah keimanan seseorang
muslim. Bahkan, tidak jarang pula orang masuk Islam tatkala sudah mengetahui
I’jaz Al-Qur'an. Terutama ketika isyarat-isyarat ilmiah, yang merupakan salah
satu aspek I’jaz Al-Qur'an, sudah dapat dibuktikan.
2. Tataran Akademis
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin memperkaya khazanah keilmuan
keislaman, khususnya berkaitan dengan ulum Al-Qur'an (ilmu tafsir)
d.
Segi-segi ijaz al-Qur’an
Mukjizat
al-Quran terdiri dari berbagai macam segi mukjizat, antara lain :
1.
Segi bahasa dan susunan redaksinya ( I'jaz Lughowi)
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya
al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun
yang ada didunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam bidang kefashihan
bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak
orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian
dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam
bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal
mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bias dicapai orang lain seperti
kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan
dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun
begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.
2.
Segi isyarat ilmiah
Pemaknaan
kemukjizatan al-quran dalam segi ilmiyyah diantaranya :
a.
Dorongan
serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas
dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya.
b.
Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya
pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan
pada kitab-kitab agama lainnya yang dalam cenderung restriktif.
c.
Al-Quran dalam mengekukakan dalil-dalil,
argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah
yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa
luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
1.
Isyarat
tentang Sejarah Tata Surya .
2.
Isyarat tentang Fungsi Angin dalam Penyerbukan
Bunga
3.
Isyarat
tentang Sidik Jari manusia
3.
Segi sejarah dan pemberitaan yang ghaib
Surat-surat dalam al-Qur’an banyak yang membertitakan tentang
hal-hal yang ghaib.
a.
Sejarah/keghaiban
masa lampau
b.
Keghaiban
masa kini
c.
Keajaiban
mas amendatang
4.
Segi petunjuk penetapan hukum.
e.
Sejarah mukjizat
Sifat kemukjizatan itu tidak bisa dibuktikan, kecuali bila memenuhi
tiga faktor dibawah ini, yaitu:
a.
Adanya tantangan
Al-Qur’an (mukjizat Muhammad) yang menantang orang-orang Arab
khususnya dan manusia pada umumnya, dibawa oleh seorang Nabi yang ummi, tidak
bisa membaca dan menulis. Beliau datang kepada orang-orang Arab itu dengan
membawa kitab yang agung ini dengan maksud menandingi mereka.
Faktir pertama: Ajakan bertanding dalam al-Qur’an ada beberapa
bentuk: al-Qur’an menantang mereka membuat kitab yang sama dengan al-Qur’an.
Namun, mereka lemah dan berbalik mundur. Kemudia mereka disodori untuk membuat
sepuluh surat yang serupa dengan al-Qur’an, merekapun bingung. Selanjutnya,
mereka disuruh membuat satu surat saja yang serupa dengan al-Qur’an, tetapi
mereka yang bisa.
Macam-macam ajakan bertanding: ajakan bertanding secara umum dan
ajakn beranding secara khusus. Ajakn bertanding secara umum disediakan untuk
para ulama, cendekiawan, filsuf, dan semua manusia tanpa kecuali. Ajakan
bertanding secara khusus ditujukan khusus untuk orang-orang Arab. Ada dua
macam: yang bersifat kulli (keseluruhan) yaitu ajakan bertanding dengan seluruh
al-Qur’an mengenai hukum-hukumnya, keindahannya, balagahnya dan keseluruhannya;
yang bersifat juz’i (bagian) yaitu ajakan bertanding dengan semisal satu surat
al-Qur’an, walaupun dari surat yang terpendek.
Faktor kedua: dorongan menangkis tantangan. Nabi Muhammad datang
membawa agama baru dan menghancurkan agama mereka. Al-Qur’an mengajak mereka
mengikuti dan meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Alloh.
Faktor ketiga: hilangnya segala rintangan. Tidak ada yang melarang
mereka untuk menandingi al-Qur’an karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
mereka , lafaznya dari huruf-huruf Arab, dan redaksinya memakai uslub orang
Arob.
9.
MUNASABAH AL-QUR’AN
a.
Pengertian
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa
adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan
yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah
kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika
keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka
namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai
ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan
lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan
sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat,
pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan,
bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait
sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang
bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan
tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama,
hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara
nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan
antara fawatih al-suwardengan isi surat; keempat,
hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima,
hubungan satu ayat dengan ayat yang lain;keenam, hubungan kalimat satu
dengan kalimat yang lain dalam satu ayat;ketujuh, hubungan antara
fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup
surat dengan awal surat. Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an
didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang
bagian-bagiannya saling terkait. Sehingga ‘ilm munâsabah
dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang
mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara
satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan
hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan)
yang dalam dan luas mengenai teks.
b.
Macam-macam
1.
Munasabah antara surah dengan surah.
Surah-surah
Al Qur’an mempunyai munasabah kerana surah yang datang kemudian menjelaskan
topik yang jelas disebutkan secara umum dalam surah sebelumnya. Sebagai contoh,
surah al-Baqarah memberikan perincian dan menjelaskan bagi surah al-Fatihah.
Surah Ali Imran juga merupakan surah berikutnya memberi penjelasan lebih
lanjut tentang kandungan surat al-Baqarah. Selain itu munasabah dapat membentuk
tema pokok dari berbagai surah, contoh: ikrar ketuhanan, kaidah-kaidah agama
dan dasar-dasar agama. Ini semua merupakan tema-tema pokok dari surah
al-Fatihah, al Baqarah, dan Ali ‘Imran. Ketiga surah ini saling mendukung tema
pokok tersebut.
2. Munasabah antara nama surah dengan kandunganya.
Nama-nama
surah yang ada di dalam Al-Qur’an memiliki kaitan dengan topik yang ada dalam
isi surah. Surah al-Fatihah disebut juga Umm al-Kitab kerana ia memuat berbagai
tujuan Al Qur’an.
3. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam surah
yang sama
Munasabah
dalam bentuk ini secara jelas dapat dilihat dalam surah-surah pendek,
contohnya: surah al-Ikhlas, tiap-tiap ayat yang terdapat dalam surah itu
menguatkan tema pokoknya yaitu tentang keesaan Tuhan.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dan hubungan
antara satu sama lain
Keadaan
ini bisa didapati dalam berbagai keadaan, antara lain: munasabah antara penutup
ayat dengan isi ayat. Munasabah disini bertujuan penguatan, misalnya firman
Allah;
Artinya:
“Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan,
meraka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang
Mukmin dari peperangan. Dan Allah adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”
Sekiranya
ayat ini terhenti pada “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan”, niscaya makna yang boleh difahami oleh orang-orang lemah sejalan
dengan pendapat orang-orang kafir yang menyangka bahwa mereka mundur dari medan
perang kerana angin yang kebetulan bertiup. Padahal, bertiupnya angin bukan
suatu kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya dan
musuh kaum Muslim. Karena itu, ayat-ayat ini ditutup dengan mengingatkan
kekuatan dan kegagahan Allah SWT menolong kaum Muslim.
Situasi
yang lain pula adalah seperti munasabah antara akhir satu surah dengan awal
surah berikutnya. Munasabah ini dapat dilihat misalnya pada surat Al-Qashash.
Permulaan surat menjelaskan perjuangan Nabi Musa, diakhir surat memberikan
kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan dari kaumnya,
dan akan mengembalikannya ke Mekkah. Di awal surat, larangan menolong orang
yang berbuat dosa dan di akhir surat larangan menolong orang kafir. Munasabah
disini terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi dan sama-sama mendapatkan
jaminan dari Allah SWT.
5. Munasabah antara kalimah dengan kalimah dalam
satu surah
Munasabah
antara kalimah dalam Al Qur’an ada kalanya memakai huruf athaf(kata hubungan) dan ada
kalanya tidak. Munasabah yang memakai huruf
athaf(kata hubung) biasanya mengambil teknik tadhâd (berlawanan).
c.
Fungsi dan urgensi
Pengetahuan
tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufassir sangat penting.
Antara lain:
1.
Membongkar
makna yang tesirat dalam susunan dan urutan kalimah-kalimah, ayat-ayat, dan
surah-surah Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an itu saling
berhubungan dan tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan berkaitan satu sama
lain. Ia dinamakan oleh Sayyid Qutb sebagai ‘al-wahdah al-madhu‘iyyah’ (kesatuan topik).
2.
Memudahkan
pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang artinya,
‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang
artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka. Antara
kedua ayat tersebut terdapat hubungan penjelasan yaitu jalan yang lurus yang
dimaksudkan adalah jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah
SWT.
3.
Mengukuhkan
keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah. Meskipun Al-Qur’an yang
terdiri dari atas 6236 ayat diturunkan dan ditulis di tempat, keadaan dan
peristiwa yang berbeda, selama dua puluh tahun lebih, namun dalam susunannya
mengandung makna yang mendalam berupa hubungan yang kuat antara satu bagian
dengan bagian yang lain.
4.
Menolak
tuduhan bahwa susunan al-Qur’an adalah tidak teratur. Contohnya surah
al-Fatihah yang ditempatkan pada awal mushaf sehingga surah inilah yang pertama
dibaca, sedangkan wahyu yang pertama diturunkan ialah lima ayat pertama surah
al-Alaq. Nabi SAW menetapkan al Fatihah di awal mushaf disusul dengan surah
al-Baqarah dan seterusnya. Setelah diteliti, ternyata dalam urutan ini terdapat
munasabah. Surah al-Fatihah mengandung asas-asas syariat Islam dan pada surah
ini ada doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surah
al-Baqarah pula dimulai dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan
yang lurus. Oleh karena itu, surah al-Fatihah merupakan titik perbahasan yang
akan diperinci pada surah-surah berikutnya seperti al-Baqarah. Dengan membuktikan munasabah tersebut, ternyata susunan ayat-ayat
dan surat-surat al-Qur’an tidak asal-asalan atau tidak teratur, sebaliknya
penyusunan itu mempunyai makna yang mendalam.
10.
TAFSIR, TAKWIL, DAN TERJEMAH
a.
Pengertian
Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan dan menerangkan, Tafsir diambil
dari kata Al-Fasr’ yang berarti membuka dan menjelaskan sesuatu yang tertutup.
Oleh karena itu dalam bahsa arab kata tafsir berarti membuka secara maknawi
dengan menjelaskan arti yang tertangkap dari redaksional yang eksplisit
(tersurat).
Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti
bahasanya menurut Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir.
Arti terjemah menurut bahasa adalah susunan dari suatu bahasa kebahasa atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa lain kesuatu bahasa
lain.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan
oleh “Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa
arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang
tidak mengerti bahasa arab sehingga dia dapat
b.
Persamaan dan perbedaan
Adapun perbedaan tafsir, takwil dan terjemah itu sendiri dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1.
Tafsir.
Menerangkan makna lafazh
yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang
dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT.
2. Takwil
Menetapkan makna yang
dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh
dalil.
Mengoleksi salah satu
makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang
dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
3. Terjemah
Mengalihkan bahasa
Al-Qur’an yang berasal dari bahasa arab kedalam bahasa non arab.
c.
Macam-macam tafsir dan coraknya
1.
Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Adalah penafsiran
Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur’an rasul, para sahabat
melalui ijtihadnya.
Hukum Tafsir Bi
Al-Ma’tsur:
Tafsir Bi Al-Ma’tsur
wajib untuk mengikuti dan diambil karena terjaga dari penyelewengan makna
kitabullah.
2.
Tafsir Bir-Ra’yi
Berdasarkan pengertian
ra’yi berarti keyakinan dan ijtihad sebagaimana dapat didefinisikan tafsir
Bir-ra’yi adalah penjelasan yang diambil berdasarkan ijtihad dan metodenya dari
dalil hukum yang ditunjukkan.
Hukum Tafsir Bir-ra’yi:
Tafsir banyak dilakukan
oleh ahli bid’ah yang menyakini pemikiran tertentu kemudian membawa
lafazh-lafazh Al-Qur’an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahuluan dari
kalangan sahabat. Tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat,
sering penafsiran Al-Qur’an dianggap dengan akal semata, maka hukumnya adalah
haram sebagai mana firman Allah:
“ Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Q.S.
Al-Isro’ : 36)
Dari uraian yang telah
dijelaskan diatas bahwa tafsir, takwil dan terjemah banyak mengandung
pengertian dari para ulama berdasarkan tujuan dari tafsir, takwil dan terjemah
adalah sebagai penjelasan yang terkandung dalam Al-qur’an.
d.
Terjemah
1.
Arti
terjemah: memindahkan al-Qur’an pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan
mencetak terjemahan ini kedalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh
orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab
Alloh swt. dengan perantara terjemah ini.
2.
Macam-macam
terjemah al-Qur’an:
a.
Terjemah
harfiyyah: menerjemahkan al-Qur’an dalam bahsa Inggris, Jerman, Perancis, dan
lain-lain mengenai lafal, kosa kata, jumlah dan susunannya dengan terjemahan
yang sesuai bahasa yang dikehendaki.
b.
Terjemah
tafsiriyyah: menerjemahkan arti ayat-ayat al-Qur’an, namun si penerjemah sama
sekalitidak terikat dengan lafalnya, karena ia lebih memperhatikan arti
al-Qur’an dengan lafal-lafal yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan
kalimat.
3.
Syarat-syarat
terjemah
a.
Mengetahui
bahasa asli dan bahasa terjemah.
b.
Mendalami
dan menguasai uslub-uslub dan keistimewaan-keistiewaan bahasa yang hendak
diterjemahkan.
c.
Bentuk
terjemah itu benar.
d.
Terjemah
memenuhi arti dan maksud bahasa asli dengan lengkap dan sempurna.
Untuk
terjemah harfiyyah ada tambahan,
a.
Kosa
kata sempurna dalam bahasa terjemah sama dengan kosa kata bahasa asli.
b.
Penyesuaian
bahasa mengenai kata ganti dan kalimat penghubung yang menghubungkan antara
satu kalimat dengan kalimat lainnya.
4.
Bolehkah
menerjemahkan al-Qur’an secara harfiyyah?
Tidak boleh karena:
a.
Tidak
boleh menulis al-Qur’an bukan dengan hururf-huruf bahasa Arab, dimaksud agar
tidak terjadi penyalahgunaan dan perubahan arti.
b.
Di
dalam bahasa bukan bahasa Arab, tidak terdapat lafal-lafal, kosa kata dan kata
ganti yang bisa menduduki lafal-lafal bahasa Arab.
c.
Meringkas
lafal-lafal bahasa Arab dapat menimbulkan kerusakan arti.
5.
Terjemah
al-Qur’an dengan makna
Terjemah al-Qur’an dengan nama dinamakan tafsir al-Qur’an.
11.
METODOLOGI PENAFSIRAN
a.
Beberapa aliran tafsir
1.
Tafsir
Riwayat, tafsir naql, tafsir maksur (atsar)
yaitu rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, Sunah atau kata-kata
sahabat sebagia penjelasan maksud dari firman Alloh, yaiu penafsiran al-Qur’an
dengan as-Sunah Nabawiyyah.
a.
Tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an.
b.
Tafsir
al-Qur’an dengan Sunah.
c.
Tafsir
sahabat.
Kelemahan:
a.
Campur
bawur antara shahih dan tidak shahih.
b.
Ada
yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyat dan khufarat yang bertentangan
dengan akidah Islamiyah.
c.
Ada
golongan yang ekstrim.
d.
Musuh-musuh
Islam dari Zindik berusaha mengecoh para sahabat.
Pendapat Az-Zarqani dalam kitab Manahilul Irfan
Tafsir dengan maksur ada dua macam:
a.
Tafsir
yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan sahih dan diterima. Tafsir seperti ini
diterima.
b.
Tafsir
yang dalil/sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor. Tafsir seperti ini
ditolak.
2.
Tafsir Dirayah (Ra’yu)
a.
Pengertian:
Ra’yu ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahiah, kaidah ayng
murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak
mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya.
b.
Macam-macam
tafsir ra’yu
·
Tafsir
mahmud: tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan
kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada
uslub-uslub dala, memahami teks-teks al-Qur’an.
·
Tafsir
mazmum: bila al-Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehandak hatinya
tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat, atau Kalam Alloh itu
ditafsirkan menurut pendapat yang salah dan sesat.
c.
Pedoman
penafsiran (dengan ra’yu)
Pertama:
dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadist-hadist yang dhaif dan maudhu’.
Kedua:
mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah
marfu’
Ketiga:
mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena al-Qur’an diturunkan dengan
bahasa Arab yang jelas, dengan membuang aternatif yang tidak tepat dalam bahasa
Arob.
Keempat:
pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai
dengan ketentuan syara’.
d.
Tingkatan
tafsir
Pertama:
tingkatan yang tinggi.
Syaratnya:
mengetahui hakikat lafal yang dikemukakan dalam al-Qur’an secara mufradat
berdasarkan penggunaan ahli bahasa; mengetahui uslub; mengetahui ilmu
antropologi; mengetahui segi petunjuk al-Qur’an untuk kemanusiaan dan
mengetahui keadaan orang-orang jahiliah dari segi kehancuran/kebinasaan dan
kesesatan; mengetahui perilaku Nabi saw dan para sahabatnya serta mengetahui
segala sesuatu yang ada padanya, baik berupa ilmu maupun amal, urusan agama maupun dunia.
Kedua:
tingkatan yang rendah, tafsir yang mendorong hati seseorang untuk emncintai
kebesaran Alloh dan kesucianNya, memalingkan jiwa dari kejelekan serta
mendorongnya untuk berbuat kebaikan.
e.
Segi-segi
tafsir
·
Berdasarkan
kata-kata/bahasa orang Arab.
·
Oleh
siapapun.
·
Hanya
diketahui ulama.
·
Hanya
diketahui oleh Alloh.
f.
Beberapa
pendapat ulama tentnag kebolehan penafsiran dengan ra’yu
Pertama:
tidak diperbolehkan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus
bertitik tolak dari penyimakan.
Kedua:
boleh dengan ra’yu dengan syarat harus memenuhi persyaratn-persyaratan diatas.
Alasan
tidak memperbolehkan: tidak berdasarkan ilmu, ancaman
(dalam hadits Turmudzi), yang menjelaskan al-Qur’an hanyalah Rasul, para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu.
(dalam hadits Turmudzi), yang menjelaskan al-Qur’an hanyalah Rasul, para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu.
Alasan
membolehkan: tadabbur dan tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami
rahasia-rahasia al-Qur’an dan berusaha memahami al-Qur’an, manusia dibagi dalam
beberapa kelompok, bila penafsiran dengan ijtihad tidak diperbolehkan maka
ijtihad sendiri niscaya tidak diperbolehkan, ketika mmebaca al-Qur’an para
sahabat berbeda pendapat dalam cara penafsirannya, takwil adalah penafsiran
dengna ra’yu atau ijtihad.
Bantahan
terhadap pendapat yang tidak membenarkan: tafsir dengan ijtihad itu tidaklah
membuat-buat Kalam Alloh tanpa alasan, karena hal itu dibolehkan oleh syara’;
Nabi saw berpulanhg kerahmatullah sebelum menjelaskan seluruh ayat-ayat
al-Qur’an secara mendalam.
3.
Tafsir
Isyari dan Gharaibut Tafsir
a.
Tafsir
Isyari: penafsiran al-Qur’an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya
petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh subagaian ulama.
b.
Pendapat
ulama tentang tafsir Isyari.
c.
Persyaratan
tafsir Isyari: tidak bertolak belakang dengan susunan al-Qur’an yang lahir;
tidak menyatakan bahwa maksud sebenarnya hanayalah isyari yang tersirat bukan
tersurat; penakwilan tidak ada hubungannya dengan lafal; tidak bertentangan
dengan hukum syariat dan aqli; tidak menimbulakn kekacauan di kalangan
masyarakat.
4.
Garib
Tafsir (tafsir yang janggal)
b.
Beberapa metode tafsir
1. Tafsir
Tahlili
Tafsir
Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelasakan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan
ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu
metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
Dalam
metode ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili
diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat
per-ayat, surat per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu
dengan yang lain, Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang
ditafsirkan dan lain-lain.
Ciri-ciri:
Penafsiran
yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi
(pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat
dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan Asbab
An-Nuzul dari ayat-ayat yg ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula
penafsiran-penafsiran yg pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabi^in, Tabi
Tabi^in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti
teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah
antara ayat yg satu dengan yg lainnya.
Ciri
lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan
lain-lain.
2.
Tafsir
Ijmali
Tafsir Ijmali adalah menafsirkan Al-Qur an
dengan cara menjelaskan maksud Al Qur an secar global, tidak terperinci sepert
tafsir tahlili, (Hidayat, 1996: 191) atau menjelaskan ayat-ayat Al Qur-an
secara ringkas tapi mencakup dgn bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan
enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yg terdapat dalam
mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al Qur-an
sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan Al Qur-an
padahal yg didengarnya adalah tafsirannya. Tafsir dengan metode ini ditetapkan
secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yyg terkandung dalam
Al Qur-an. Karena dgn metode tafsir ijmali, seorang mufassir berbicara kepada
pembacanya dgn cara yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yg dapat
menjelaskan arti ayat sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti
yg dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami kandungan pokok Al Qur-an.
Ciri-ciri:
Penafsiran yg dilakukan terhadap ayat-ayat Al
Qur-an, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dan
kadangkala mufassir menafsirkan Al Qur-an dgn lafazh Al Qur-an, sehingga
pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Al Qur-an dgn
penyajiannya yg mudah dan indah. Metode tafsir Ijmali ini hampir sama dengan
metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara terperinci seperti
tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.
3.
Tafsir Muqoron
Pengertian metode tafsir Muqoron adalah: 1)
membangdingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur-an yg memiliki kesamaan redaksi dalam 2
kasus lebih, dan atau memiliki berbeda bagi satu kasus yg sama; 2)
membandingkan ayat Al Qur-an dgn hadits yg pada lahirnya bertentangan; dan 3)
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam menafsirkan Al Qur-an
(Baidan 1998: 65)
Definisi di atas menunjukkan bahwa, penafsiran
Al Qur-an dgm metode ini memiliki cakupan yg amat luas, tidak hanya membandingkan
ayat dgn ayat, ayat dgn hadits, tapi juga membandingkan pendapat para mufassir
dalam menafsirkan ayat.
Ciri-ciri:
Metode ini mempunyai ciri khas yg dapat
membedakannya dari metode lain yaitu membandingkan pendapat para ulama tafsir
dalam menafsirkan ayat dgn ayat, atau ayat dengan hadits, baik merka termasuk
ulama salaf ataupun ulama hadits yg metode dan kecenderungan merka
berbeda-beda, baik penafsiran merka yg berdasarkan riwayat yg bersumber dari
Rosulullah SAW, Sahabat atau Tabi^in ( tafsir bil ma’tsur) atau berdasarkan
rasio, ijtihad (tafsir bil ra’y) dan mengungkapkan pendapat mereka serta
membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yg berbeda dalam
penafsiran Al Qur-an.
Mufassir dengan metode ini dituntut mampu
nenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yg mereka kemukakan untuk
kemudian mengambil sikap untuk menerima penafsiran yg dinilai benar dan menolak
penafsiran yg tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada
pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.
4.
Tafsir
Maudhu`i
Metode tafsir Maudhu^i / tematik adalah suatu
metode penafsiran Al Qur-an dimana seorang mufassir mengkaji Al Qur-an sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan dalam Al Qur-an, baik yang
berkaitan dengan hal kehidupan, sosiologi, ataupan kosmologi (Muhaimin, 1994:
120) . Dalam metode ini, semua ayat yg berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yg terkait dengannya, seperti
asbaabun nuzul, kosa kata, dsb. Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas, serta
didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yg dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Ciri-ciri:
Sesuai dengan namanya, maka yg menjadi ciri
utama dari metode ini ialah penonjolan tema, judul atau topik pembahasan,
sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode
topikal (Baidan, 1998: 152)
Tafsir Maudhu’i mempunyai dua bentuk kajian yg
menjadi ciri utamanya: Pertama, pembahasan mengenai satusurat secara menyeluruh
dan utuh dgn menjelaskan maksudnya yg bersifat umum dan khusus, menjelaskan
korelasi antara berbagai masalah yg dikandungnya, sehingga surat itu tampak
dalam bentuknya yg betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat
dari berbagai surat yg sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat
tersebut disusun sedemikian rupadan diletakkan di bawah satu tema bahasan,
selanjutnya ditafsirkan secara Maudhui.
Kemudian untuk cara kerjanya (yg menjadi ciri
khas metode ini) Abd al- Farmawi (1977: 52) merumuskannya sbb: (a) menetapkan
masalah/tema yg akan dibahas; (b) menghimpun ayat-ayat yg berkaitan dgn masalah
tersebut; (c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; (d) memahami
korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya masing-masing; (e) menyusun pembahasan
dalam rangka yg sempurna; (f) melengkapi pembahasan dgn hadits-hadits yg
relevan dgn pokok pembahasan; (g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan dgn jalan menghimpun ayat-ayat yg memiliki pengertian sama, atau
mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang
”muqoyyad”, atau yg lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam
satu muara tanpa perbedaan
c.
Corak penafsiran
1.
Tafsîr bil ma’tsûr
Tafsir bil ma’tsur pada
dasarnya menampilkan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang diambil dari
sumber-sumber tradisional Islam yang secara hierarkhis diurutkan mulai dari
al-Qur’an, hadis Nabi SAW, atsar sahabat, dan qawl tabiin.
Contoh Tafsir yang
menampilkan corak penafsiran bil ma’tsur dengan rangkaian sanad yang lengkap
adalah karya Ibnu Jarir at-Tabarī (w. 310 H), Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil
ay al-Qur’an. Di dalam kitab ini Tabari selain menyebutkan pendapat, juga
memberikan arahan, menimbang validitas riwayat antara satu dengan yang lain,
juga memberikan penjelasan tentang i’rab jika dibutuhkan, serta memberikan
istinbat hukum yang dimungkinkan untuk diambil dari ayat-ayat Quran tersebut
(Dzahabi, TM, i/142).
2.
Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi
adalah sebutan untuk tafsir al-Quran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan menggunakan ijtihad. Prasayarat yang harus dimiliki oleh seorang
mufassir dalam penafsiran ini adalah pengetahuan yang baik tentang kalimat
bahasa Arab dan aspek-aspeknya. Selain itu, ada juga yang mensyaratkan bahwa
seorang mufassir juga harus memiliki pengetahuan tentang syair-syair jahiliah,
serta mengetahui asbab al-nuzul, memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal
nasikh mansukh ayat al-Quran, dan ilmu lainnya yang menjadi perangkat yang
harus dipenuhi seorang mufassir (Dzahabi, TM, 1/152).
Diantara karya-karya tafsir bi al-ra’yi yang menonjolkan pandangan ijtihadi para mufassirnya berdasarkan kepasitas ilmiah yang mereka kuasai adalah: Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Rāzī (w.606 H); Anwār al-Tanzīl wa asrār al-ta’wīl karya al-Baghāwī (w.691 H);Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H);Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H); dan Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
Diantara karya-karya tafsir bi al-ra’yi yang menonjolkan pandangan ijtihadi para mufassirnya berdasarkan kepasitas ilmiah yang mereka kuasai adalah: Mafātih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Rāzī (w.606 H); Anwār al-Tanzīl wa asrār al-ta’wīl karya al-Baghāwī (w.691 H);Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H);Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H); dan Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
3.
Tafsir Sufi
Perkembangan pemikiran
Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran esoteris terhadap ayat-ayat al-Qur’an
memunculkan corak penafsiran sufi. Corak penafsiran ini didasarkan pada argumen
bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna:
zhahir, batin, hadd, dan matla’. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir
sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-Azhim, karya Sahl al-Tustarī (w.283
H); Haqā’iq al-Tafsīrkarya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412
H); Lata’if al-Isyaratkarya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is
al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606).
4.
Tafsir Fiqhî
Bersamaan dengan
lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat
yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di
antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan
menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada
generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini,
keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul dengan cara melakukan
penafsiran terhadapnya. Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī
adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām
al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām
al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
5.
Tafsir Falsafi
Latar belakang yang
menyebabkan munculnya corak penafsiran falsafi terhadap al-Qur’an adalah karena
berkembang pesatnya gerakan penerjemahan yang dilakukan pada masa kekhalifahan
Abbasiyah. Kitab tafsir yang tergolong ke dalam corak penafsiran falsafi yang
mewakili kelompok yang menolak filsafat adalah Mafātih al-Ghaybkarya
Fakhr al-Razī (w. 606 H), sedangkan dari kelompok yang kedua, menurut Husein
al-Dzahabi, tidak ada karya yang bisa dikelompokkan sebagai sebuah karya tafsir
selain dari penafsiran terhadap penggalan-penggalan ayat al-Qur’an yang
terserak di antara kitab-kitab filsafat yang mereka susun.
6.
Tafsir Ilmi
Alasan yang melahirkan
penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah
seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari
keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan
fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran
ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi
mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki
pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.” Karya yang bisa
digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya
Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.
7.
Tafsîr Adabî ijtima‘î
Corak Adabi Ijtima’i
adalah corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang
terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar
kemukjizatannya. Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam kategori ini
adalah Tafsir al-Manarkarya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935), Tafsir
al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945), dan Tafsir al-Qur’an
al-Karim karya Mahmud Syaltut.
12.
MUFASIR DAN KAIDAH PENAFSIRAN
a.
Syarat dan adab mufasir
b.
Ilmu yang dibutuhkan
·
Mengetahui
dan memahami ilmu nahwu sharaf.
·
Mengetahui
ilmu balagah.
·
Mengetahui
ushul fiqih.
·
Mengetahui
asbabun nuzul.
·
Mengetahui
nasakh dan mansukh.
·
Mengetahui
ilmu qira’at.
·
Ilmu
mauhibah.
c.
Qawaid tafsir
13.
TAFSIR AL-QUR’AN DAN PENAFSIRANNYA
a.
Ahli tafsir golongan sahabat dan tabi’in
1.
Golongan
sahabat: Abdullah Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
2.
Golongan
Tabi’in:
a.
Kelompok
mekkah: mujahid bin Jabar, Atha’ bin Abi Rabbah, Ikrimah maula Ibnu Abbas,
thawus bin khaisan Al-Yamani, Said bin Jubair.
b.
Kelompok
Madinah: Muhammad bin Ka’ab Al-Qurzi, Abul Aliyah Ar-riyahi, Zaid bin Aslam,
c.
Kelompok
Irak: Hasan Al-Bashri, Masruq Ibnu Al-Ajda’, Qatadah bin Diamah, Atha’
Al-Khurasani, MurrahAl-Hamdzani.
b.
Kitab tafsir terkenal
1.
Kitab-kitab
tafsir riwayat: tafsir Ibnu Jarir, tafsir As-Samarqandi, tafsir Ats-Tsalabi,
tafsir Al-Baghawi, tafsir Ibnu Athiyah, Tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al-Jawahir,
tafsir As-Suyuti.
2.
Kitab-kitab
tafsir Dirayah yang masyhur: tafsir Al-Fahrurrazi, tafsir Al-aidawi, tafsir
Khazin, tafsir An-Nasafi, tafsir An-Naisaburi, tafsir Abi Sa’ud, tafsir Abi
Hayyan, tafsir Al-Alusi.
3.
Kitab-kitab
tafsir ayah ahkam: tafsir Al-Jassas, tafsir Lukya Al-Harasi, tafsir As-Sayuti,
tafsir Ibnul Arabi, tafsir Al-Qurtubi, tafsir As-Sayuri, tafsir Az-Zaidi.
4.
Kitab-kitab
tafsir Isyari: tafsir At-Tusturi, tafsir As-Silmi, tafsir An-Naisaburi, tafsir
Ibnu Arabi, tafsir Al-Alusi.
5.
Tafsir
Golongan Mu’tazilah dan Syi’ah: tafsir Al-Hamdani, tafsir Al-Murtadi, tafsir
Az-Zamakhsyari, tafsir Al-Misykat, tafsir Al-Askari, tafsir At-Tubrusi, tafsir
Al-Kasyi, tafsir Al-Alawi, tafsir Al-Khurasani.
6.
Kitab-kitab
tafsir arab modern: tafsir Al-Manar, tafsir Al-Maragi, tafsir Al-Qasimi, tafsir
Al-Zilal, tafsir Al-Waidh, tafsir Al-Jauhari, tafsir Isa, tafsir Wajdi, tafsir
Ad-Damanhuri, tafsirMakhluf, tafsir Hasan Khan.
14.
ILMU-ILMU AL-QUR’AN YANG LAIN
a.
Amm dan khash
1.
Devinisi
‘Amm
Yang
dimaksud dengan ‘Amm adalah suatu lafadh yang menunjukkan pengertian umum
menurut makna yang sebenarnya, tidak dibatasi oleh jumlah dan tidak pula
menunjukkan bilangan tertentu.
2.
Tanda-tanda
‘Amm
Tanda-tanda
‘Amm antara lain:
a.
Isim
mufrod yang memakai alif lam harfiyah seperti al-Insan.
b.
Isim
jamak yang memakai alif lam
c.
Lafadh
yang di idhafahkan kepada ma’rifat
d.
Isim
maushul
e.
Isim
nakirah yang didahului dafi
f.
Isim
isyarat yang memakai jawab dengan huruf istifhamiyah
g.
Lafadh
kullun dan jami’un
h.
Lafadh
ma’syara dan kaffah
i.
Nafyul
musawah bainasy sya-isini
j.
Fi’il
Amr dalam bentuk jamak
3.
Macam-macam
amm
a.
‘Amm
yang tetap pada keumumannya (al-’Amm al-Baqi ‘ala ‘Ummiyyah).
b.
‘Amm
yang dimaksud khusus (al-’Amm al-Murad Bihi al-Khusus).
c.
‘Amm
yang dikhususkan (al-’Amm al-Makhsus).
4.
Khash
Khass
adalah lawan kata ‘Amm, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas
baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup
lafadh ‘Amm. Dan muKhassis (yang mengkususkan) adakalanya muttasil, yaitu yang
diantara ‘Amm dengan muKhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya
munfassil, yaitu kebalikan dari muttasil.
b.
Muhkam dan mutasyabih
1.
Muhkam
Muhkam berasal dari
kata Ihkam yang bearti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan.
Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan
tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
2.
Mutasyabih
kata mutasyabih berasal
dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad
Isttabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan
secara terminology Al Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelasmaksudnya,
dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan
memerlukan keterangan tertentu, atau Allah yang mengetahuinya.
c.
Mutlaq dan muqoyyad
1.
Mutlaq
Mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup
seluruh afrad di dalamnya.
Contoh firman Allah berikut ini :
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)
Artinya:
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) termasuk
lafadz mutlaq yang mencakup semua jenis raqabah(hamba
sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa mencakup
raqabah laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman. Jika
dilihat dari segi cakupannya, maka lafadz mutlaqadalah sama
dengan lafadz ‘am. Namun keduanya tetap memiliki perbedaan
yang prinsip, yaitu lafadz ‘am mempunyai sifat syumuli (melingkupi)
atau kulli (keseluruhan) yang berlaku atas
satuan-satuan, sedangkan keumuman dalam lafadz mutlaq bersifat badali (pengganti)
dari keseluruhan dan tidak berlaku atas satuan-satuan tetapi hanya
menggambarkan satuan yang meliputi.
2. Muqqoyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada
sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat
sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah
mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:93)
“Dan barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman”.
Kata “raqabah” (hamba
sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah.
Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan
atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat,
yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap
ayat yang datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan
berdasarkanqayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di
atas.
d.
Mantuq dan mafhum
Mantuq
adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum
ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat
pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman
Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum,
pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan
perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak
disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz
yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan
mantuq dan tidak nyata disebut mafhum
15.
ILMU-ILMU ALQUR’AN YANG LAIN
a.
Qasm
1.
Defenisi dan Modal
QasamAqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamin,
yakni sumpah. Shighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa”
yang di muta’addi (transitif) kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu yang
digunakan untuk bersumpah) kemudian muqsam alaih, yang dinamakan dengan jawab
Qasam.
2.
Qasam dalam kalamullah
guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, membangun argumentasi,
menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
3.
Jenis-jenis Qasm
a. Zhahir, ialah sumpah
yang didalamnya disebutkan Fi’il qasam dan muqsam bih dan diantaranya ada yang
dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan
huruf berupa “ba”, “wawu” dan “ta”.
b. Mudhmar, yaitu yang
didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia
ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk kedalam jawab qasam.
b.
Jadal
Secara bahasa jadal berasal
dari kata جَدَلَ-يَجْدُلُ – جُدُوْلًا yang artinya صَلُبَ وَ قَوِيَ atau
dalam arti lain الحَبًّ : قَوِيَ فِى سنبله[8]
Adapun secara
istilah Jadal dan Jidal adalah bertukar pikiran dengan cara
bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari
kata جَدَلْتُ الحَبْل yakni اَحْكَمْتُ فَتْلَهُ (aku kokohkan jalinan tali itu),
mengingat kedua belah pihak itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan
berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipeganginya.[9]
Dalam literatur lain
disebutkan depinisi “Al-jadal ” dan al-jidal, maknanya bertarung dalam
bentuk beradu dan tewas menewas. asal kalimat ini ialah ” saya menyimpul tali
“ yakni……apabila saya memperkemaskan simpulannya. “tali yang tersimpul”
ialah tali yang telah dikemas kuatkan simpulannya.[10] Dengan maksud, seolah olah
mereka yang berdebat saling memperkuatkan hujjah dan menyimpulkannya,
sebagaimana beliau menguatkankan simpulan tali, supaya dengan menguatkan
hujjahnya beliau akan dapat menewaskan lawannya.
Metode Berdebat yang ditempuh al-Qur’an
c.
Qashash
1.
Pengertian
Menurut bahasa,
kata qashash berarti kisah, cerita, berita atau keadaan . Kata
kisah berasal dari bahasa Arab qishshah, yang diambil dari kata
dasar qa sha sha. Kata dasar tersebut ditampilkan al-Qur’an hingga sebanyak
26 kali.
2.
Metode mempelajari
qashash Al-Qur’an
a. Gaib pada masa lalu; dikatakan masa lalu
karena kisah-kisah tersebut merupakan hal gaib yang terjadi pada masa lampau,
dan disadari atau tidak kita tidak menyaksikan peristiwa tersebut, tidak
mendengarkan juga tidak mengalaminya sendiri.
b. Gaib pada masa kini; dalam artian bahwa
kisah tersebut terjadi pada masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya di
bumi ini.
c. Gaib pada masa depan; dengan penjelasan
bahwa semua akan terjadi pada masa depan ( di akhir zaman),
3.
Macam-macam
kisah dalam al-Qur’an
a. Kisah Anbiya’ yakni kisah yang mengandung dakwah mereka kepada
kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang
memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat
yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan.
Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta
rasul lainnya.
b.
Kisah yang berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang
yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah Thalut dan Jalut, Habil dan
Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab
al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
c.
Kisah yang berhubungan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang
Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah,
perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.
4.
Faedah Qashash
al-Qur’an
a.
Menjelaskan asas-asas
dan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok pokok syari’at yang
diajarkan oleh para Nabi.
b.
Meneguhkan Hati Rosulullah
SAW dan umatnya dalam mengamalkan agama Allah (Islam), serta menguatkan
kepercayaan para mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan kehancuran
orang-orang yang sesat.
c.
Menyibak kebohongan
para Ahli Kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang
mereka sembunyikan, dan menentang mereka tentang isi kitab mereka sendiri
sebelum kitab tersebut diubah dan diganti seperti firman Allah.
d.
Fatawih suwar
1. Dari segi bahasa, fawatihus suwar berarti
pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya yang mengawali perjalanan
teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah,
huruf cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara
kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun, tidaklah berbeda dari lafazh yang
diucapkan pada huruf hijaiyah.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis sebuah kitab yang secara mendalam membahas
tentang bab ini, yaitu kitab Al-Khaqathir Al-Sawanih fi Asrar
Al-Fawatih. Ia mencoba menggambarkan tentang beberapa kategori dari
pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam Al-Quran. Pembagian
karakter pembukaannya adalah sebagai berikut.Pertama, pujian
terhadap Allah swt yang dinisbahkan kepada sifat-sifat kesempurnaan
Tuhan. Kedua, yang menggunakan huruf-huruf hijaiyah; terdapat
pada 29 surat. ketiga, dengan mempergunakan kata seru (ahrufun
nida), terdapat dalam sepuluh surat. lima seruan ditujukan
kepada Rasul secara khusus. Dan limayang lain ditujukan kepada umat. Keempat, kalimat
berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat. kelima, dalam
bentuk sumpah (Al-Aqsam); terdapat dalam 15 surat.
2.
Macam-macam fawatih as
suwar
a. Pembukan dengan pujian kepada Allah (al-istiftah bi al-tsana).
b. Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus (Istiftah bi al-huruf
al-muqatha’ah).
c. Pembukaan dengan panggilan (al-istiftah bi al-nida).
d. Pembukaan dengan kalimat (jumlah) khabariah (al-istiftah bi al-jumal
al-khabariayyah).
e. Pembukaan dengan sumpa (al-istiftah bi al-qasam).
f. Pembukaan dengan syarat (al-istiftah bi al-syarth).
g. Pembukaan dengan kata kerja perintah (al-istiftah bi al-amr)
h. Pembukaan dengan pertanyaan (al-istiftah bi al-istifham)
i.
Pembukaan dengan doa (al-istiftah
bi al-du’a)
j.
Pembukaan dengan alasan
(al-istiftah bi al-ta’lil)
Ash Shiddiqy TM Hasby. 1994. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an. Jakarta: Bulan Bintang
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddiqy TM Hasby. 1994. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an. Jakarta: Bulan Bintang
HASANUDDIN AF. 1995. Anatomi Qur’an; Perbedaan Qira’at
dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Manna’ Khalil al-Qattan(trjmah; Drs, Mudzakir
AS), Studi Ilmu-ilmu a-Qur’an,Litera Antar Nusa, Halim Jaya,
Jakarta, 2002. hal 426
MUDZAKKIR AS, Drs. 1994. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an.
Jakarta: Lintera Antar Nusa
Prof Dr. Muhammad Ali Ash –
Shahbuuniy. 1998. STUDI ILMU AL-QUR’AN. Bandung: CV PUSTAKA SETIA
Supiana, M, Ag- M. Karman, M. Ag. 2002. Ulum
Quran. Bandung: Pustaka Islamika
Lucky 7 Casino Resort Review | Kiowa County Chamber of
BalasHapusLucky 7 전주 출장안마 Casino Resort review. Read 광주광역 출장안마 about promotions, gaming options, safety 동해 출장샵 and more. Find out more. 상주 출장마사지 Rating: 3.9 · Review by 서산 출장마사지 Josh Middleton